Kamis, 24 April 2014
Posted by Unknown on Kamis, April 24, 2014
with No comments so far
Oleh : Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Manusia terlahir ke dunia ini (Lokiya), bukan berarti ia tidak
memiliki suatu misi. Semua kehidupan yang telah dilalui, terlahir dialam
yang bahagia maupun tidak dialam bahagia semuanya membawa misi. Misi
tersebut bukan semata bertujuan untuk mencapai sesuatu yang bersifat
lahiriah (kesenangan duniawi), melainkan misi yang sangat terpenting
adalah tercapainya keseimbangan hidup yang kemudian dapat menembus
batiniah untuk mengikis keburukan-keburukan yang ada didalam diri, yaitu
Loba; Keserakahan, Dosa; Kebencian, Moha; kebodohan, yaitu dengan
menerapkan system sikap “Padhana (usaha): Samvarappadhana; berusaha
tidak memunculkan keadaan yang buruk didalam diri, Pahanappadhana;
berusaha untuk menghilangkan keadaan yang buruk yang sudah muncul dan
ada didalam diri, Bhavanappadhana; berusaha untuk memunculkan keadaan
yang baik/ luhur didalam diri, Anurakkhappadhana; berusaha menjaga dan
meningkatkan keadaan yang baik didalam diri (Vbh. I, A.II.16), itulah
sesungguhnya Misi terbesar semua makhluk didunia ini.
Bagi mereka yang telah mengenal dan menyelami ajaran Buddha maka
sudah pasti mereka akan mengerti hakekat sesungguhnya yang harus
dijalankan, untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas batin yang
kokoh; karena kekokohan batin seseorang mempengaruhi kehidupannya.
Meskipun seseorang mampu mencapai keberhasilan dalam berkarir dan sukses
dalam usaha, tetapi jika tidak dilandasi dengan batin yang seimbang,
batin yang kokoh maka semua itu tidak menjamin kedamaian dan kebagian
dapat ia rasakan; Artinya, keberhasilan dan kesuksesan hidup yang
sesungguhnya adalah “kemampuan seseorang untuk mengoptimalkan
batiniahnya dalam menyeimbangkan segala bentuk tindakan yang akan maupun
yang dilakukannya”. Mung kin sebagian orang menganggap, keberhasilan
dan kesuksesan adalah penentu kebahagiaan, sedangkan kegagalan dan
kehancuran adalah faktor penderitaan. Tetapi, menurut kacamata Dhamma;
“kebahagiaan yang ada didalam diri seseorang adalah sumber dari
keberhasilan dan kesuksesan,” Empat Idipada yang Buddha babarkan, yaitu:
Chanda; rasa sukacitta/ kebahagian akan senantiasa mempengaruhi
terhadap rasa Viriya; semangat seseorang dalam bertindak dan
berperilaku, sehingga dengan demikian akan memberikan kewaspadaan,
perhatian terhadap semua yang telah dilakukan tanpa membiarkannya
menjadi sia-sia, karena dengan adanya kondisi-kondisi tersebut secara
otomatis akan mempengaruhi terhadapa Vivamsa; evaluasi dan perenungan
atas semua yang telah dilakukan (Vbh.I; 216 & 413).
Meskipun kegagalan masih sering terjadi, mereka pasti akan tetap
tegar dan kuat karena Yonisomanasikara; ia telah mengetahui akan hal-hal
baik dan buruknya, ia menyadari kekurangan dan kelemahan yang
dimilikinya. Orang-orang yang memiliki sikap demikian akan jauh lebih
menemukan makna hidup lebih baik, karena sejak awal kesadaran dalam
penyadaran telah terbentuk didalam dirinya, “Bagaikan batu karang yang
tak tergoyahkan oleh hantaman badai yang bertubi-tubi, (Pandita Vagga;
VI-81)”. Sehingga dengan demikian mereka akan jauh lebih mudah untuk
bangkit. “Succses is the ability, to go from one failure, to another,
with no loss of enthusiasm; kesuksesan adalah kemampuan untuk berpindah
dari suatu kegagalan ke kegagalan lain tanpa kehilangan antusiasmu"
(Winston Churchill).
Untuk itu janganlah pernah takut dan kuwatir, cobalah untuk
mentrasformasikan diri secara optimal. Buatlah hidup ini menjadi semakin
lebih menarik dengan melakukan sesuatu yang sederhana tetapi itu sangat
memiliki arti bagi kehidupan, yang dapat meningkatkan kualitas batin.
Segala sesuatunya perlu ada proses yang harus dilalui, karena segala
proses tersebut akan mematangkan dan menguatkan, seperti halnya “sebuah
besi akan semakin kuat hasilnya jika besi tersebut dibakar dan ditempa
dengan baik”, bersabarlah dalam melewati proses tersebut. Yang
terpenting adalah keyakinan/ komitmen hidup yang baik dengan berpikir,
berucap dan bertindak baik maka niscaya semua misi baik secara lahiriyah
dan batiniah akan diperoleh. Buddha senantiasa selalu mengajarkan
lihatlah segala sesuatu sebagaimana adanya, karena semua itu timbul dan
tenggelam, semuanya selalu berubah dan tidak ada yang abadi, tetaplah
selalu berjuang meskipun rintangan dan tantangan selalu dilih berganti.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,
Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Posted by Unknown on Kamis, April 24, 2014
with No comments so far
Oleh: Bhikkhu Aggacitto.
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Hendaknya seseorang seperti Batu Karang yang tak tergoyahkan oleh
badai ombak yang menerjang, demikian juga sebaliknya, seseorang
hendaknya tetap tegar dan tenang Didalam mengahadapi fenomena yang
terjadi dalam kehidupan.
“Pandita Vagga; Bab VI syair 81”
"SEKALI LAYAR BERKEMBANG SURUT BAGI KITA UNTUK BERPANTANG"
Setiap manusia yang hidup perlu memiliki komitmen dalam menentukan
sikap, karena hal itu adalah salah satu bagian modal penting dalam
mencapai kehidupan yang seimbang. Setiap orang berhak menentukan pilihan
hidup masing-masing, segala sesuatu didunia ini tidak ada yang mengatur
atau menentukan semua baik buruknya yang berkaitan dalam kehidupan
kita. Ketika pilihan telah diputuskan maka janganlah pernah sedikitpun
menyesaliNya meskipun pilihan tersebut pada akhirNya belum tentu sesuai
dengan harapan yang kita inginkan, melainkan syukurilah karena saat ini
kita sudah berani mencoba untuk memutuskan pilihan terbaik dalam hidup.
Jadilah seorang arsitek terbaik untuk membangun kehidupan saat ini,
janganlah terjerat atas semua yang telah lewat, hiduplah saat ini dan
janganlah pernah memikirkan sesuatu yang belum terjadi.
Jangan pernah kuwatir atau takut sebelum semuanya dicoba, kesalahan
dan kegagalan didalam hidup bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan,
sebab itu sudah bagian dari hukum alam yang tidak akan terlepaskan dalam
hidup. Pepatah lama menyebutkan, “Tak ada Gading yang tak akan retak,
Air tak selamanya tenang, terkadang akan timbul suatu gelombang, karena
hidup tidak ada yang sempurna, segala hal pasti akan mengalami
perubahan”, yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari dan menerima
semua itu dengan pikiran yang positif, maka niscaya semuanya akan dapat
dan mampu teratasi (Dp. Bab II, Ayat 21; Appamada Vagga). Buddha
bersabda dalam Atthaloka Dhamma (A.N VIII; 2), yaitu; Lobha (Mendapatkan
Keuntungan), Alobha (Mengalami Kerugian), Yaso (Mendapatkan kedudukan/
Kejayaan/ Kesuksesan), Ayaso (Tidak mendapatkan kedudukan/Keruntuhan/
Kegagalan), Ninda (Dicela, dihina, difitnah), Pasamsa (Dipuji,
dihormati, disegani), Sukkha (Merasakan Kebahagiaan & Kesenangan),
Dukkha (Merasakan Penderitaan & kesusahan). Orang bijaksana
mengajarkan bahwa, guru yang terbaik adalah guru yang telah mengajarkan
sesuatu tidak hanya dari sisi enaknya saja, melainkan ia juga telah
menunjukan sisi rasa pahitnya.
Tetaplah selalu berkarya, jangan pernah pesimis, buatlah semua
menjadi optimis, terseyumlah manis, janganlah pasif tetapi cobalah untuk
selalu aktif. Ingatlah... didunia ini tidak ada yang mengkondisikan
sesuatu terjadi pada diri kita, jika kita tidak menghendaki kondisi itu
terjadi. Apabila kita telah memutuskan untuk melangkah kedepan maka
janganlah sekalipun untuk berhenti, ketika kita berhenti maka akan
menghambat perjalanan arah tujuan yang kita tuju. Jika didepan
perjalanan ada sebuah batu kerikil yang menghadang maka laluilah dengan
suka cita. Sudah saatnya kita MEREVOLUSI hidup menuju hidup yang lebih
baik, kini tiba saatnya memulai pembaruan dan perubahan menuju hidup
yang bahagia.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,
Semoga Semua Makhluk turut berbahagia,
Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Mimbar Agama Buddha
Kamis, 20 Maret 2014
Rabu, 02 April 2014
Posted by Unknown on Rabu, April 02, 2014
with No comments so far
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Adāsime akāsi me, ñātimitta sakhā ca me
Petānaṁ dakkhiṇaṁ dajjā, pubbe katamanussaran’ti
Orang
yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa,
“Ia
memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku,
sahabatku, dan temanku; patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang
telah meninggal”.
(Tirokuḍḍa Sutta, Khuddakapāṭha, Khuddakanikāya, Sutta
Piṭaka)
Dikalangan masyarakan kita berada mungkin sering muncul berbagai
pertanyaan, Bagaimana cara memberikan penghormatan yang sesuai, yang pantas,
dan yang terbaik untuk para mendiang, para leluhur atau sanak family yang telah
meninggal. Sejarah peradaban manusia telah menuangkan berbagai macam ragam
melalui adat istiadat, tradisi, kebudayaan, dan tingkat pengetahuan serta
pengalaman yang terus berkembang. Tetapi menurut kacamata Dhamma, yang di
sabdakan oleh Buddha, bahwa; Pemberian terbesar yang dapat dipersembahkan
seseorang kepada para leluhurnya yang telah meninggal adalah dengan melakukan
suatu perbuatan kebajikan dan kemudian melimpahkan perbuatan tersebut kepada
mereka. Dalam bahasa Pali pelimpahan Jasa ini disebut Pattidana atau istilah lainnya biasa dikenal sebagai Ulambana atau
Cautu, yang merupakan suatu tradisi masyarakat Buddhis, yang tidak asing lagi
dikalangan umat Buddha. Tindakan ini sangatlah bermanfaat bagi mereka yang
terlahir dialam Peta (Paradattupajivika
Peta), yang memang sangat membutuhkan dukungan dan dorongan jasa kebajikan
dari sanak keluarganya. “Seperti air
mengalir dari dataran tinggi kedataran yang rendah, demikian pula hendaknya
jasa yang dipersembahkan (Oleh Kerabat atau keluarga) dialam manusia ini dapat
ikut dinikmati oleh para makluk (Peta). Seperti air dari sungai mengalir
mengisi lautan luas, demikian pula dengan jasa-jasa ini dapat ikut dinikmati
oleh para Peta” (Tirokudda Sutta,
Khuddaka Patha, Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka, Tipitaka). Pattidana adalah ungkapan rasa bhakti atau
bentuk dari kattannukatavedi (tahu
berterima kasih) kepada para leluhur yang telah meninggal, karena seseorang
hendaknya harus menyadari dengan adanya mereka maka ada kita, karena ada
hubungan kamma bandu (iktan karma)
maka mereka menjadi bagian dari kehidupan kita, Pelimpahan jasa dilakukan
dengan tujuan dan harapan semoga mereka bisa turut ikut menikmati (ber-muditacitta) atas kebahagiaan tersebut,
sehingga dengan demikian kita dapat membantunya dalam mengkondisikan
kebahagiaan yang dapat mendorong kebajikan-kebajikan yang telah diperbuat
semasa hidupnya dapat berbuah, untuk membantu mereka terlahir dialam yang
bahagia. Orang yang telah melakukan pelimpahan jasa tentunya akan semakin
banyak mendapatkan manfaat karena mereka juga telah mengisi dirinya sendiri
dengan perbuatan-perbuatan yang baik, jika diperumpamakan ibarat “Nyala api
sebuah lilin, apabila disulutkan ke lilin yang lainnya tentu lilin tersebut
tidak akan berkurang nyalanya, tetapi justru akan menambah kehidupan dan
penerangan bagi lilin-lin lainnya, demikian juga dengan kebajikan yang
dilimpahkan”.
Bila kita memiliki tradisi yang telah diajarkan turun-temurun
oleh leluhur kita dan masih dijalankan, itu tentu tidak menjadi suatu masalah
untuk dilakukan. Bahkan sesungguhnya persembahan yang diadakan dalam upacara
peringatan kepada mendiang, leluhur dan kerabat yang telah meninggal justru
memiliki makna dan ajaran yang mendalam khususnya bagi sanak keluarga yang
ditinggalkan. Jangan merasa ragu atau kuwatir untuk melakukannya, meskipun itu dianggap
kuno, kolot, kaku tidak mengikuti perkembangan zaman. Yang terpenting adalah
ketika menyelenggarakan upacara tersebut tidak menjadi beban bagi kita, yang
terpenting semuanya dilakukan tidak menimbulkan masalah terhadap anggota
keluarga yang lain, dan tidak mengorbankan makhluk lain secara langsung dengan
cara membunuh sendiri atau memerintahkan orang lain untuk membunuh binatang
yang digunakan untuk persembahan. Kalau tidak mampu menyediakan semua
perlengkapan, tidak perlu menyulitkan diri sendiri dan keluarga, lakukan saja
dengan sederhana. Apalah artinya bila dilakukan dengan meriah tetapi dengan
terpaksa dan tidak terdapat pengertian yang benar, dibandingkan dengan cara
sederhana tetapi dilakukan dengan kesungguhan, kerelaan, dan ketulusan hati.
Pernghormatan yang baik terhadap mendiang, leluhur dan sanak
family yang telah meninggal adalah dengan cara dari perbuatan-perbuatan yang
berjasa yang memiliki keluhuran, sehingga perbuatan baik itu dapat bermanfaat
bagi leluhur, diri sendiri, maupun pihak lain. Paling mudah kita dapat berdoa
(membaca paritta), meningkatkan praktik berdāna, menjaga sila (moralitas),
mengembangkan konsentrasi, atau kebajikan-kebajikan lain yang sesuai dengan Dhamma yang kemudian kita atas namakan
kepada mendiang dan para leluhur. Perbuatan tersebut tidak akan membuat jasa
kebajikan kita hilang, bahkan kita dapat melatih dan mengembangkan cinta kasih
dan kasih sayang kepada semua makhluk. Itulah pemahaman dan cara penghormatan
kepada mendiang dan para leluhur yang yang terbaik sesuai dengan ajaran Buddha.
Sabbe
Satta Bhavantu Sukhitatta,
Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Di kutip dari : Y.M Bhikkhu Aggacitto
Langganan:
Postingan (Atom)