Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Adāsime akāsi me, ñātimitta sakhā ca me
Petānaṁ dakkhiṇaṁ dajjā, pubbe katamanussaran’ti
Orang
yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa,
“Ia
memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku,
sahabatku, dan temanku; patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang
telah meninggal”.
(Tirokuḍḍa Sutta, Khuddakapāṭha, Khuddakanikāya, Sutta
Piṭaka)
Dikalangan masyarakan kita berada mungkin sering muncul berbagai
pertanyaan, Bagaimana cara memberikan penghormatan yang sesuai, yang pantas,
dan yang terbaik untuk para mendiang, para leluhur atau sanak family yang telah
meninggal. Sejarah peradaban manusia telah menuangkan berbagai macam ragam
melalui adat istiadat, tradisi, kebudayaan, dan tingkat pengetahuan serta
pengalaman yang terus berkembang. Tetapi menurut kacamata Dhamma, yang di
sabdakan oleh Buddha, bahwa; Pemberian terbesar yang dapat dipersembahkan
seseorang kepada para leluhurnya yang telah meninggal adalah dengan melakukan
suatu perbuatan kebajikan dan kemudian melimpahkan perbuatan tersebut kepada
mereka. Dalam bahasa Pali pelimpahan Jasa ini disebut Pattidana atau istilah lainnya biasa dikenal sebagai Ulambana atau
Cautu, yang merupakan suatu tradisi masyarakat Buddhis, yang tidak asing lagi
dikalangan umat Buddha. Tindakan ini sangatlah bermanfaat bagi mereka yang
terlahir dialam Peta (Paradattupajivika
Peta), yang memang sangat membutuhkan dukungan dan dorongan jasa kebajikan
dari sanak keluarganya. “Seperti air
mengalir dari dataran tinggi kedataran yang rendah, demikian pula hendaknya
jasa yang dipersembahkan (Oleh Kerabat atau keluarga) dialam manusia ini dapat
ikut dinikmati oleh para makluk (Peta). Seperti air dari sungai mengalir
mengisi lautan luas, demikian pula dengan jasa-jasa ini dapat ikut dinikmati
oleh para Peta” (Tirokudda Sutta,
Khuddaka Patha, Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka, Tipitaka). Pattidana adalah ungkapan rasa bhakti atau
bentuk dari kattannukatavedi (tahu
berterima kasih) kepada para leluhur yang telah meninggal, karena seseorang
hendaknya harus menyadari dengan adanya mereka maka ada kita, karena ada
hubungan kamma bandu (iktan karma)
maka mereka menjadi bagian dari kehidupan kita, Pelimpahan jasa dilakukan
dengan tujuan dan harapan semoga mereka bisa turut ikut menikmati (ber-muditacitta) atas kebahagiaan tersebut,
sehingga dengan demikian kita dapat membantunya dalam mengkondisikan
kebahagiaan yang dapat mendorong kebajikan-kebajikan yang telah diperbuat
semasa hidupnya dapat berbuah, untuk membantu mereka terlahir dialam yang
bahagia. Orang yang telah melakukan pelimpahan jasa tentunya akan semakin
banyak mendapatkan manfaat karena mereka juga telah mengisi dirinya sendiri
dengan perbuatan-perbuatan yang baik, jika diperumpamakan ibarat “Nyala api
sebuah lilin, apabila disulutkan ke lilin yang lainnya tentu lilin tersebut
tidak akan berkurang nyalanya, tetapi justru akan menambah kehidupan dan
penerangan bagi lilin-lin lainnya, demikian juga dengan kebajikan yang
dilimpahkan”.
Bila kita memiliki tradisi yang telah diajarkan turun-temurun
oleh leluhur kita dan masih dijalankan, itu tentu tidak menjadi suatu masalah
untuk dilakukan. Bahkan sesungguhnya persembahan yang diadakan dalam upacara
peringatan kepada mendiang, leluhur dan kerabat yang telah meninggal justru
memiliki makna dan ajaran yang mendalam khususnya bagi sanak keluarga yang
ditinggalkan. Jangan merasa ragu atau kuwatir untuk melakukannya, meskipun itu dianggap
kuno, kolot, kaku tidak mengikuti perkembangan zaman. Yang terpenting adalah
ketika menyelenggarakan upacara tersebut tidak menjadi beban bagi kita, yang
terpenting semuanya dilakukan tidak menimbulkan masalah terhadap anggota
keluarga yang lain, dan tidak mengorbankan makhluk lain secara langsung dengan
cara membunuh sendiri atau memerintahkan orang lain untuk membunuh binatang
yang digunakan untuk persembahan. Kalau tidak mampu menyediakan semua
perlengkapan, tidak perlu menyulitkan diri sendiri dan keluarga, lakukan saja
dengan sederhana. Apalah artinya bila dilakukan dengan meriah tetapi dengan
terpaksa dan tidak terdapat pengertian yang benar, dibandingkan dengan cara
sederhana tetapi dilakukan dengan kesungguhan, kerelaan, dan ketulusan hati.
Pernghormatan yang baik terhadap mendiang, leluhur dan sanak
family yang telah meninggal adalah dengan cara dari perbuatan-perbuatan yang
berjasa yang memiliki keluhuran, sehingga perbuatan baik itu dapat bermanfaat
bagi leluhur, diri sendiri, maupun pihak lain. Paling mudah kita dapat berdoa
(membaca paritta), meningkatkan praktik berdāna, menjaga sila (moralitas),
mengembangkan konsentrasi, atau kebajikan-kebajikan lain yang sesuai dengan Dhamma yang kemudian kita atas namakan
kepada mendiang dan para leluhur. Perbuatan tersebut tidak akan membuat jasa
kebajikan kita hilang, bahkan kita dapat melatih dan mengembangkan cinta kasih
dan kasih sayang kepada semua makhluk. Itulah pemahaman dan cara penghormatan
kepada mendiang dan para leluhur yang yang terbaik sesuai dengan ajaran Buddha.
Sabbe
Satta Bhavantu Sukhitatta,
Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Di kutip dari : Y.M Bhikkhu Aggacitto
0 komentar:
Posting Komentar