Ia terlahir dikeluarga terhormat, Sehat jasmani rohani, tidak terlahir dalam keadaan cacat, ia memiliki paras yang elok, ia memiliki materi berlimpah, ia merasakan ketenangan dan kebahagiaan. SemuaNya didapatkan melalui kemurahan hati dalam memberi (Catukka Nipata - Anguttara Nikaya)

Pages

DANA KEBAJIKAN DAPAT DISALURKAN MELALUI :

BCA CEMARA ASRI Rek. 8645011119 An. NGADI MULYO or DEWI CHRISTINE....[MEMBUTUHKAN BARANG MATRIAL:: BAJA WF, BESI COR, SEMEN, PASIR, BATU BATA, BATU KALI, KERAMIK, GENTING, BAJA RINGAN ATAP, CAT TEMBOK, PLAFON KUSEN, Dll]... INFORMASI:: Upa. Rudy Rachman (0819888683) Upi. Jenny Salim (061-77747288) Upi. Karista (085261013854) Upa. Edy Susanto (08126543129) atau Y.M Bhante Aggacitto (081269477978) di ITBC Cemara Asri

VIDEO

Pubharama Buddhist Centre. Diberdayakan oleh Blogger.

DOKUMENTASI PBC

Social Icons

Social Icons

Koleksi Video PBC

Koleksi Video PBC

Featured Posts

BUKU TAMU

Selasa, 18 Maret 2014




























Kamis, 06 Maret 2014

Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa,

"Akkocchi mam avadhi mam Ajini mam ahasi me ye ca tam upanayanti veram tesam na sammati; Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya, Jika seseorang sudah tidak lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian akan berakhir ” Dpd. Yamaka Vagga I : 4”

Salah satu penyebab penderitaan didunia ini adalah ketidakmauan kita untuk memaafkan orang lain. Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah karena dunia berjalan tak sesuai dengan kemauan kita. Kita sering menuntut orang lain. Kita sering menuntut supaya jalan-jalan diberi karpet untuk keselamatan kita tetapi orang bijak ia akan selalu pakai sepatu tebal agar ia selamat dari paku, kerikil, bahkan panasnya aspal tersebut. Kadang-kadang kita marah karena pasangan, anak, orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak melakukan apa yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam kemarahan ini berhari-hari, bahkan bertahun-tahun dan lebih parah lagi disimpan sampai tujuh keturunan. Didalam Abhidhamma dituturkan bahwa satu jentikan menciptakan milyaran kesadaran bahkan trilliunan kesadaran. Begitu pula dengan pikiran kita; sekali berpikir akan berentetan milyaran kesadaran bahkan trilliunan kesadaran; tergantung pikiran baik atau pikiran buruk. Memang banyak sekali kejadian yang memancing emosi kita. Pengendara motor yang memaki kita, mobil yang menyalib dan hampir membuat kita celaka, rekan-rekan yang tak mau mendengar kita, politisi yang hanya memperjuangkan diri sendiri, adik yang sering minta bantuan tapi tak pernah mengucapkan terima kasih, pembantu yang membohongi kita, maupun bos yang pelitnya luar biasa. Kita mungkin berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya kita benci. Tapi kita lupa bahwa kebencian yang kita simpan hanyalah merugikan kita sendiri. Dalam dhammapada dikatakan bahwa kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan berakhir jika dibalas dengan cinta kasih. Mempraktekkan cinta kasih adalah bentuk refleksi dari internal religion kita. Semakin orang mengerti tentang nilai-nilai Agama semakin pula dirinya jauh dari hal-hal yang merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain.

Sudah menjadi watak manusia, tatkala hatinya disakiti, dia akan merasa sakit hati dan boleh jadi berujung dengan dendam. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus dendam setiap kali ada yang menyakiti. Malah sebaliknya, jika kita dicela, maka doakanlah orang-orang yang mencela itu agar mereka sadar dan menjadi orang lebih baik dengan mengucapkan SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA (semoga semua makhluk berbahagia). Mampukah kita melakukannya? Orang-orang bijaksana adalah sosok yang hatinya bersih dari sifat dendam. Walau ia dihina, dicaci-maki, difitnah, bahkan hendak dibunuh, tak sedikit pun ia mendendam. Bahkan, ia mati-matian berbuat baik kepada orang-orang tersebut dan begitu ringannya ia memaafkan. Penelitian menunjukkan ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki dampak hebat terhadap tubuh kita: menciptakan ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan sistem kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak dan setiap organ dalam tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit seperti pusing, sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang energi, cemas, tak bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia sehingga diri kita semakin jauh dari Dhamma itu sendiri.

Baru-baru ini saya sempat berinteraksi dengan sekelompok mada-mudi yang mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Ternyata, kebanyakan dari mereka memendam berbagai kemarahan, baik kepada orang tua maupun orang-orang di sekitar mereka termasuk pacar mereka dan itulah yang menciptakan sebuah sebuah sindrom masa kini yaitu Galau Syndrome. Musuh kita sebenarnya bukanlah orang yang membenci kita tetapi pola pikir jelek kita lah sebagai musuh kita, yang harus diubah. Ada cerita mengenai seorang teman bekas teman sekolah SMA dulu. Sambil mengobrol saya bertanya, ”Apakah kamu sudah melupakan pacar kamu waktu SMA dulu?” Jawabnya, ”Belum bisa.” Saya kemudian berkata, ”Kenapa belum? Kan sudah bertahun-tahun.”dia tertawa kecil dan berkata, ”Karena aku sangat membencinya bahkan kalau ingat sepertinya saya sangat muak kepadanya”. Saya lalu bilang, “Kalau begitu, kamu masih memenjara diri kamu.” Lalu dia termenung dan menganggukkan kepalanya. Kita harus terus berlatih untuk mengikis sifat dendam tersebut. Jika seseorang masih berpikir,” Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya; maka kebencian tidak akan berakhir. Sebaliknya jika seseorang tanpa berpikir; Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya; maka ia akan bahagia, kebencianpun akan berakhir. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari para karateka yang berhasil menghancurkan batubata dengan tangannya. Pertama kali memukulnya, bata tersebut tidak langsung hancur. Tapi, dia tak patah semangat. Diulanginya terus usaha untuk menghancurkan bata tersebut. Akhirnya, pada pukulan kesekian, pada hari kesekian, bata tersebut berhasil dihancurkan. Memang, tangannya bengkak-bengkak, tetapi dia mendapatkan hasil yang diinginkan. Begitu pula dengan hati. Jika hati dibiarkan sensitif, maka hati ini akan mudah sekali terluka. Akan tetapi, jika hati sering dilatih, maka hati kita akan semakin siap menghadapi pukulan dari berbagai arah. Jika kita telah disakiti seseorang, kita jangan melihat orang tersebut, tetapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan ladang amal kebajikan. Kita akan semakin sakit, tatkala melihat dan mengingat orangnya.
Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita. Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di luar. Karena itu jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya, belajarlah memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami ketidaktahuan orang lain. Banyak orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan. Kalaupun mereka sengaja melakukannya, itupun karena mereka sebenarnya tak tahu. Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah untuk orang lain tetapi untuk mereka sendiri. Orang yang suka memaki dan bersikap kasar, meluapkan emosi, kemarahan, sebenarnya ia tak menyadari bahwa mereka sedang menciptakan penderitaan bagi dirinya sendiri. Suatu ketika ia akan kena batunya, Inilah konsekuensi logis dari hukum sebab-akibat. Ada sebab pasti ada akibat.

Diakses :  Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan
http://analisadaily.net/news/read/memaafkan-moment-yang-indah/9390/2014/02/27

Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

SAAT kebahagiaan yang kita rasakan sirna, janganlah mencoba untuk menyesalkan waktu, ingatlah siapa yang menguasai waktu, siapa yang memiliki waktu dan siapa yang berkehendak terhadap waktu disaat dulu maupun yang akan datang…? Hanya kita sendirilah yang bisa memanage waktu. Janganlah ada kata, “seandainya dulu”, “coba dulu saya…”, “mestinya saya dulu..”,dan lain-lain. Semuanya yang telah terjadi itulah yang perlu kita renungkan. Saat semua yang telah terjadi tak perlu disalahkan dan disesalkan. Semuanya itu adalah cara kita memberi pelajaran bagi diri kita sendiri (jika tidak boleh dikatakan  kelemahan atau kekurangan atas diri kita sendiri), memberi hal-hal yang tak akan ada disekolah, bukan materi pelajaran, semua yang terjadi itu adalah pengalaman yang terbaik kita untuk menapaki dan menjalani hidup yang masih menanti didepan sana.
Banyak hal yang harus kita ambil dari apa yang terjadi dimasa lalu, dari pengalaman sendiri maupun dari apa yang terjadi disekitar kita. Janganlah terlarut dalam kesedihan masa lalu, kalaupun itu terjadi cukuplah satu malam saja, dan sambutlah hari esok dengan bahagia.

Bersyukurlah, itu kunci agar kita tak larut dalam kesedihan. Hidup ini mudah jika kita terbuka. Terbuka melihat hal-hal kecil disekitar kita, terbuka menerima cobaan yang sedikit menghambat perjalanan kita, terbuka dalam berpikir begitu beruntungnya kita jika dibandingkan dengan orang lain, dan masih banyak lagi keterbukaan yang harus kita lakukan dalam menyikapi hidup. Untuk selanjutnya kita perlu berterima kasih kepada orang-orang yang telah memberi kesempatan yang indah untuk kita. Terutama mama dan papa kita. Itulah Bersyukur.

Dengan bersyukur, ibarat kita punya uang seribu saja kita merasa kaya. Selain itu, bersyukur merupakan obat ampuh untuk mengobati sifat iri. Yah…sifat dimana kita merasa cemburu ketika orang lain bahagia, sifat yang menunjukkan kalau kita tidak punya sesuatu yang bisa kita banggakan atau bahkan sifat yang bisa menghambat kehidupan kita. Tidaklah sulit untuk melakukan ini. Hanya perlu kepekaan terhadap apa yang telah kita miliki dan peka terhadap sekitar kita.

Akhirnya, untuk hari ini saja marilah kita coba meluangkan waktu sejenak untuk mensyukuri akan apa yang telah kita dapatkan dan miliki. Bersyukur akan waktu dan kesempatan hari ini. Bersyukur akan kesehatan dan seluruh organ tubuh yang masih kita miliki. Bersyukur akan orang-orang yang kita cintai; orang tua kita, saudara-saudara kita, bersyukur akan teman-teman kita yang senantiasa ada menemani; teman-teman yang selalu ada disaat kita bahagia ataupun sedih. Bersyukur akan pengalaman-pengalaman yang telah kita lalui, bersyukur akan tanggung jawab yang kita miliki; tanggung jawab yang menjadikan kita orang yang lebih baik dari hari ke hari, bersyukur akan kebaikan yang dapat kita berikan kepada orang lain; kebaikan yang dapat menjadikan dunia tempat yang lebih menarik, bersyukur karena kita selalu diberi kesempatan untuk mencintai dan kesempatan untuk menjadi orang yang dicintai sehingga hidup menjadi penuh berarti. Hanya untuk hari ini saja marilah kita coba untuk bersyukur, karena siapa tahu kita sudah tidak punya kesempatan lagi untuk bersyukur, karena siapa tahu kita sudah tidak punya kesempatan lagi untuk bersyukur esok hari. Setiap saat setiap waktu anda mengeluh, anda selalu merasa kurang bersukur, anda sebenarnya tidak sedang melakukan kesalahan, karena memang begitulah sebenarnya manusia. Manusia tempat kekurangan dan kesempurnaan itu ada karena kita saling melengkapi. Tapi taukan anda ketika anda mengeluh berapa waktu yang anda gunakan untuk mengeluh, kenapa anda tidak mencoba untuk menggunakan waktu itu untuk berpikir merencanakan sesuatu untuk hari esok. Ketika anda merasa kurang, bukankah itu sebuah pemacu kita untuk mencari yang lebih. Bahkan ketika anda kurang merasa puas bukankah itu adalah tolok ukur kemampuan kita yang akan lebih baik kalau kita tinggatkan. Dan ketika anda kurang bersyukur kenapa anda tidak memulai dari sekarang untuk mensyukuri apa yang ada. Kenapa harus menunggu hari esok kalau kita bisa melakukan sekarang. Tunggu apalagi, inilah keajaiban bersyukur…..

Diakses :  Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan
http://analisadaily.com/news/read/keajaiban-bersyukur/2549/2014/01/30


Oleh: Bhikkhu Aggacitto
“Dhammapiti Sukham Seti Vippasanena Cetasa, 
Ariyappavedite Dhamme Sada ramati pandito”
Ia yang mengenal Dhamma akan hidup bahagia dengan pikiran tenang dan damai
Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya
(Dpd. Pandita Vagga : VI Syair 79)
Pada hakikatnya kehidupan manusia tidak akan dapat terlepas dari yang namanya hubungan antar sesama (SIMBIOSIS MUTUALISME) sebab manusia juga dapat diartikan sebagai makhluk sosial, tentu ia masih membutuhkan bantuan maupun dukungan dan dorongan dari pihak lain. Demikian juga kehidupan para umat perumahtangga (garavasa) yang mempunyai hubungan sangat erat terhadap kehidupan para Bhikkhu, salah satunya adalah hubungan timbal balik yang pengaplikasiannya para umat perumahtangga menyokong kebutuhan-kebutuhan pokok para Bhikkhu (Catupacaya/ Parikkhara), sedangkan para Bhikkhu juga sama memberikan kebutuhan-kebutuhan umat dalam bentuk nilai-nilai spiritual yaitu dengan memberikan wejangan atau nasehat dhamma yang dapat dijadikan landasan hidup untuk menuju keharmonisasian yang lebih baik. Jadi kontribusi kedua belah pihak ini sangat perlu dibina dan dilestarikan demi menjaga kelangsungan dan keutuhan ajaran sang Buddha didunia, para umat perumah tangga (garavasa) dan Bhikkhu harus senantiasa saling Asih, Asah dan Asuh agar keseimbangan umat Buddha (Bhikkhu/ Bhikkhuni, Samanera/ Samaneri dan Upasaka/ Upasika) tetap terjaga dengan baik  (Sigalovada Sutta, Digha nikaya III, 31).
Umat Buddha tentu sudah mengerti dan memahami apa yang disebut “Hari Kathina atau Sangha Dana di Bulan Kathina”, yang mana setiap tahunnya umat Buddha selalu menyelenggarakan di Vihara-Vihara atau Cetiya-Cetiya. Hari Kathina secara umumnya bisa diartikan sebagai hari bhakti atau bentuk wujud ungkapan terima kasih (Katannukatavedi) kepada Bhikkhu Sangha yang telah memberikan kontribusi positif bagi umat dalam penghayatan terhadap Buddha Dhamma, yang pelaksanaannya diwujudkan dengan memberikan persembahan dana berupa kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi sandang, pangan dan papan (Civara : Jubah, Pindapata : makanan, Senasana : tempat tinggal (Kuti/Vihara), Gilanapaccayabhesajja : obat-obatan). Hari Kathina merupakan hari yang special dibandingkan dengan hari-hari lainnya untuk menanam jasa kebajikan, tetapi hendaknya jangan disalah artikan bahwa dihari lain/ dihari biasa tidak baik untuk melakukan kebajikan. Sebab persembahan dana yang diberikan dihari Kathina bukan tertuju hanya kepada individu Bhikkhu tertentu melainkan dana tersebut adalah untuk Sangha yaitu persamuan para Bhikkhu. Tentunya ini merupakan kesempatan dan waktu yang tepat untuk menanam jasa kebajikan diladang yang subur, karena Sangha merupakan pelestari dan pemeliharaan ajaran Buddha yang murni, Oleh karenanya sabda Buddha menjelaskan “Sabba Danam Dhamma Danam Jinati – dari seluruh dana, berdana untuk kepentingan dhamma jasa pahalanya melebihi segala bentuk dana lainnya” (Dpd. Tanha Vagga XXIV Syair 354). Terlebih didalam salah satu bagian Tipitaka “Velumakkha Sutta” telah dijelaskan "Berdana kepada orang yang bermoral akan jauh lebih besar jasanya daripada berdana kepada orang yang tidak mempunyai moral yang baik. Segala bentuk aktifitas dan rutinitas yang dilakukan para Bhikkhu Sangha tidak terlepas dari yang namanya aturan (Vinaya). Secara tidak langsung semua dana persembahan yang telah diberikan kepada Sangha akan bermanfaat dalam pengembangan Buddha Dhamma dan tentunya semua dana tersebut tidaklah sia-sia.
Kendati demikian, umat Buddha juga perlu memahami esensi didalam melakukan pemberian, baik kepada Sangha maupun kepada siapa saja. Karena hal ini sangat berpengaruh kepada kesempurnaan dari apa yang telah dilakukan. Meskipun menanam jasa kebajikan dilakukan ditempat yang subur, akan tetapi jika benih dari yang ditanam maupun yang menanam tidak sesuai maka semuanya juga tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu ada beberapa hal yang mesti dipahami.:
1.      Cetana Sampada (Niat)
Cetana (niat) merupakan faktor yang sangat penting yang menjadi pendorong dalam segala hal. Yang disebut Kamma baik maupun Kamma buruk juga didasari oleh cetana. Cetana adalah penentu/ motif dan sebagai motivator dalam melakukan segala sesuatu, tanpa ada hal tersebut maka segalanya tidak akan pernah dapat terlaksanakan dengan baik. Untuk itu hendaknya Cetana yang telah dimiliki tidak hanya bertujuan untuk kesenangan indriawi, melainkan dipergunakan untuk tujuan yang luhur yaitu untuk membebaskan diri dari kekotoran batin, untuk mengikis keserakahan, untuk melenyapkan kebodohan dan untuk menumbuh kembangkan welas asih kepada sesama maupun kepada semua makhluk. Cetana (niat) yang baik dalam memberi meliputi :
  1. Pubbe Cetana (sebelum melakukan) Hendaknya sebelum melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan terhadap dana yang diberikan.
  2.  Munca Cetana (sesaat melakukan) Hendaknya sesaat melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan terhadap dana yang diberikan.
  3. Aparapara Cetana (sesudah melakukan) Hendaknya sesudah melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan tanpa ada rasa penyesalan/kekecewaan atau terbebani dari apa yang sudah didanakan.
2.      Vatthu Sampada (barang yang didanakan)
-          Hendaknya barang yang didanakan sebaiknya barang-barang yang bersih
-          Tidak dari hasil pencurian atau penipuan, didapatkan dengan usaha yang benar
-          Tidak diperoleh dengan cara melanggar hukum Negara dan Agama
-          Dana diberikan dengan penuh hormat
 
3.      Pugala Dana (penerima dana)
-          Sang Buddha pernah dituduh seseorang: "Apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana kepada orang tidak punya moral itu tidak ada gunanya?" Sang Buddha kemudian menjawab"Aku tidak pernah mengatakan demikian bahwa berdana tidak ada gunanya, meskipun orang membuang sisa-sisa dari satu panci atau mangkuk kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para makhluk hidup di dalamnya dapat memperoleh makanan, perbuatan inipun merupakan sumber dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia". (Anguttara Nikaya III : 57) dari uraian tersebut tentu sudah jelas penerima dari dana yang diberikan berpengaruh besar, tetapi sekali lagi bukan berarti orang yang tidak bermoral jasa kebajikan tidak, Jasa kebajikan masih tetap ada akan tetapi nilai dari jasa tersebut tidaklah maksimal.
-          Sang Buddha juga menyatakan dan mempertegas kepada para siswanya bahwa "Berdana kepada Sangha sangatlah besar jasa pahalanya” (Sangha disini terdiri menjadi dua kelompok : Samutti Sangha – yaitu yang belum mencapai kesucian dan Ariya Sangha - yaitu yang telah mencapai kesucian).
Dari uraian diatas semoga dapat dijadikan bahan renungan umat Buddha agar dalam melakukan kebajikan dapat memahami esensi yang sesungguhnya, sehingga kebajikan yang telah dilakukan dapat memberikan manfaat yang jauh lebih besar. "Sesuai dengan benih yang ditabur maka demikian pulalah buah yang kelak akan dituai, Mereka yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaa, demikian juga sebaliknya” (Samyutta Nikaya I:227). Membiasakan praktik untuk memberi juga dapat berfungsi meminimalisir hal-hal yang negative muncul didalam pikiran terlebih dapat menumbuh kembangkan pikiran-pikiran yang bijaksana untuk menuju kepada ketenangan dan kedamaian.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

PENGALAMAN merupakan buah hasil dari perjalanan hidup yang telah dilalui oleh seseorang. Sumbangsihnya telah banyak memberikan pengaruh besar terhadap perubahan didalam diri seseorang untuk menjadi semakin lebih baik, dan setiap orang mempunyai perbedaan yang tidak sama dalam mendeskripsikan pengalamannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan didalam sabda-sabda Sang Buddha; Pengalaman bukanlah suatu kepercayaan yang membabi buta yang didapatkan melalui cara berimajinasi maupun berfantasi, melainkan sesuatu yang realita yang ditemukan dan didapatkan secara langsung, dengan adanya pengalaman tersebut maka seseorang dapat mengembangkan dirinya dengan nilai-nilai yang luhur untuk menemukan dan mendapatkan pemurnian pikiran maupun kebijaksanaan dari dalam dirinya. 

Buddha bersabda; Kembangkanlah keadaan pikiran dengan tenang, kembangkanlah keadaan pikiran dengan seimbang; baik ketika dipuji maupun dicela oleh orang lain. Bebaskanlah pikiran dari rasa benci, bebabaskanlah pikiran dari bangga diri, dan arahkan jalan hidupmu dalam kedamaian. (Sutta Nipata; 702). Semua kondisi yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan bukanlah karena ada pengaruh dari luar, melainkan semuanya ada dan terjadi karena diri kita sendiri. “Di kehidupan ini ia menderita, di kehidupan yang akan datang ia juga menderita. Di kehidupan sekarang ia bahagia dan di kehidupan yang akan datang ia bahagia, semuanya di karena perbuatannya sendiri” (Dhammapada Yamaka Vagga I;15-16).
 
Ketika kondisi yang menyenangkan diterjadi hendaknya kita tidak menyombongkan diri atas apa yang kita capai saat ini, dan sebalinya ketika kondisi yang tidak menyenangkan terjadi hendaknya kita menjadikannya sebuah evaluasi diri. Hidup kita tidaklah selalu manis dan hidup tidaklah selamanya indah, kedua-duanya selalu silih berganti karena itu bagian perpaduan yang akan menjadikan makna hidup yang sesungguhnya. Kerumitan hidup tidak akan pernah dapat mampu kita prediksikan secara pasti, tetapi semuanya dapat kita jalani dengan keseimbangan.

Janganlah pernah meratapi, kecewa ataupun benci terhadap pengalaman pahit yang pernah terjadi didalam kehidupan kita. Sadarilah, renungkanlah dan lepaskanlah, bahwa itu semua adalah pelajaran yang akan membuat kita tumbuh berkembang menjadi lebih bijaksana. Untuk itu sangat penting sekali bagi kita agar selalu sadar setiap saat. “Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan. Ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar seolah-olah hidupnya tidak akan mati, tetapi orang yang tidak sadar seolah-olah hidupnya telah mati” (Dhammapada Appamada Vagga II;21). Hiduplah saat ini dan lihatlah saat ini, yang lalu biarlah berlalu dan yang terpenting adalah saat ini. Karena apa yang kita lakukan saat ini akan menentukan hari esok, baik tidaknya hari ini yang kita lakukan akan sangat berpengaruh terhadap hari esok. Cobalah untuk berpikir positif, selalu kreatif, aktif dan berinovatif, serta berusahalan untuk selalu optimis. Maka niscaya hidup akan semakin lebih hidup.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Saddhu…Sadhu…Sadhu… 
Diakses Melalui: Mimbar Agama Buddha, 6 Maret 2014
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa 
Hidup ramah lingkungan, dengan cara mengurangi perilaku-perilaku yang dapat  mencemarkan lingkungan maupun merusak alam dan berbuat sesuatu yang baik untuk bumi dengan berupaya untuk berpartisipasi dalam mengambil bagian dari perwujudan untuk menciptakan ALAM SURGA DI DUNIA. Mengapa hal itu perlu kita dilakukan…??? karena alam adalah bagian penting dari lingkungan yang dapat diartikan sebagai tempat untuk membangun unsur kehidupan dan berpengaruh besar bagi semua makhluk yang berada di dalamnya, termasuk juga manusia. Oleh karena itu keadaan lingkungan yang baik sangat berpotensi memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan dukungan dalam proses perkembangan dan kelangsungan hidup. Menurut seorang tokoh terkemuka A.G. Tansley (1935) lingkungan adalah salah satu bagian dari ekosistem yang mana memiliki suatu system yang terbentuk oleh keterikatan hubungan timbal balik yang tidak akan pernah terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya, sehingga ekositem bisa diartikan juga sebagai suatu tatanan yang utuh dan menyeluruh antara semua unsur lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Maka dengan demikian menjaga dan melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggungjawab yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dewasa ini, jika kita mengamati, sedikit sekali menemukan orang-orang yang memiliki kesadaran baik terhadap lingkungan sekitarnya, apalagi terhadap kelestarian alam. Hal ini dapat dilihat sejauh mana cara-cara manusia menempatkan dan memposisikan dirinya dalam aktivitas dan produktivitas demi memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Buddha menguraikan didalam syair  Dpd. Danda Vagga; X-131, “Sukhakamani bhutani yo dandena vihimsati attano sukhamesano pecca so na labhate sukham; barang siapa yang mencari kebahagian dari dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagian, maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan”. Sikap untuk mensyukuri dan menghargai, serta mempergunakan maupun menjaga kelestarian lingkungan beserta sumber daya alam yang ada sangatlah minim sekali dilakukan, sehingga tidak heran apabila setiap kita melangkahkan kaki dari daerah satu kedaerah yang lainnya, dari pulau ke satu ke pulau yang lainnya, maka banyak menjumpai pemandangan-pemandangan yang tidak bersahabat terhadap lingkungan;“beberapa contoh yang sudah marak terjadi yaitu seperti pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya sehingga sampah menumpuk dimana-mana, pembalakan  liar (illegal logging) yang tanpa diimbangi dengan penanaman kembali (reboisasi), pembukaan lahan yang dijadikan sebagai tempat pengembangan industry yang tanpa memikirkan dampak buruknya terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada didalamnya, dan masih banyak yang lainnya”.
Kondisi ini memang sungguh memprihatinkan, padahal kondisi ini adalah masalah yang harus diperhatikan bersama. Seseorang lebih cenderung prihatin dan kecewa terhadap dampak buruk yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, ketimbang memikirkan bagaimana solusinya. Seyogianya kita tidak hanya tinggal diam melihat kondisi tersebut atau menunggu orang lain yang harus melakukan atau mungkin berpikir “masalah ini bukan masalah saya dan biarlah orang lain yang memikirkannya”, jika memang demikian maka selamanya perubahan menuju yang lebih baik tidak akan pernah dapat terjadi. Seperti yang telah Buddha sabdakan “Attanameva pathamam patirupe nivesaye-hendaknya seseorang memulai dan mengembangkan hal-hal yang baik dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu (Dpd.158)” dan Kayirace kayirathenam dalhamenam parakkhame-hendaknya seseorang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati (Dpd. 313). Dari uraian Buddha diatas dapat kita renungkan bersama bahwa, sekecil apapun usaha yang kita lakukan, jika dengan kesungguhan hati maka pada akhirnya kita akan memperoleh hasilnya. Maka dari itu jangan berpikir sempit bahwa sesuatu yang baik tidak akan membuat perubahan jika itu bermanfaat bagi banyak orang,  orang lain pasti akan ikut dan mendukung, terlebih jika hal tersebut berpengaruh terhadap lingkungan hidup. Masalah sebesar apapun dan kondisi sesulit apapun apabila dihadapi dan diatasi dengan tenang, maka semuanya akan menjadi baik. Mari kita bekerja sama dan saling mendukung, mencari solusi yang terbaik untuk perubahan hidup yang lebih baik.
Dalam sudut pandang ajaran Buddha (Buddhasasana) menjaga lingkungan dan kelestarian alam beserta sumberdaya yang ada didalamnya merupakan salah satu bentuk wujud dari “Metta” (Cinta kasih). Didalam “Karaniyametta Sutta” Buddha menjelaskan pengembangan cinta kasih tidak hanya dilakukan kepada orang-orang terdekat kita, melainkan cinta kasih itu hendaknya dikembangkan secara universal dan tidak membatasinya. Alam adalah unsur dari sumber kehidupan bagi kita maupun makhluk-makhluk lainnya dan secara tidak langsung ketika kita mencintai lingkungan dan alam yang kita tempati, membuktikan bahwa kita telah mencintai semua makhluk yang berada didalamnya. Pada prosesnya lingkungan dan sumberdaya alam yang ada mempunyai hubungan timbal balik yang menguntungkan, menurut hukum sebab-musabab hal itu dibenarkan karena pada intinya mempunyai hubungan proses ketertikatan.  Oleh sebab itu, ketika kita tidak mampu mencintai dan menjaga kelestarian lingkungan serta tidak seimbang mempergunakan semua sumber daya alam yang dihasilkan, maka kita tidak dapat menjaga kelangsungan hidup dengan baik. Untuk menegaskan  betapa pentingnya lingkungan dan sumber daya alam bagi kehidupan, Buddha memberikan perumpamaan yang sangat luar biasa yaitu, “Yathapi bhamaro puppham vannagandham ahethayam paleti rasamadaya-Bagaikan seekor lebah yang tidak pernah merusak kuntum bunga, baik warnanya maupun baunya (Dhp.49)”. Didalam ekosistem tersebut lebah tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga, akan tetapi juga sekaligus membayarnya dengan penyerbukan. Perilaku yang dilakukan lebah tentu memberikan inspirasi tentang bagaimana seharusnya seseorang menggunakan sumber daya alam yang terbatas (Wijaya-Mukti, 2004).  Sebagai tambahan jika alam mempunyai fungsi besar bagi kehidupan manusia maka dapat dilihat dari “Agganna Sutta” yang menunjukan hubungan timbal balik perilaku manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (Sali) yang pertama kali dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi tersebut dipetik ketika sore hari, kemudian berbuah kembali keesokan harinya. Di petik pagi-pagi, berbutir padi itu kembali tumbuh di sore hari. Semula manusia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan, akan tetapi timbulah didalam pikiran manusia; “bukankah lebih baik jika mengumpulkan padi yang cukup untuk persediaan makan siang dan makan malam sekaligus, lalu pikiran berikutnya muncul kembali, bukankah lebih baik lagi jikalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari dan seterusnya”. Sejak saat itulah manusia mulai menimbun padi, sehingga padi yang telah dipanen tidak tumbuh lagi. Sehingga akibat dari keserakahan itu, manusia akhirnya harus menanam dan menunggu dengan waktu yang cukup lama. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun dan butiran-butiran padi mulai berkulit sekam (D.II.88-90).
Dari uraian tersebut dapat dilukiskan bahwa keterikatan sumber daya alam dan tindakan manusia mempunyai peranan penting terhadap hasil akhir dan proses kelangsungan hidupnya. Ajaran Buddha tidak semata-mata menitik beratkan kepada cara-cara bagaimana menuju kepada perealisasi sejati, melainkan beliau juga mengajarkan bagaimana sikap yang harus dilakukan dalam menempatkan diri yang baik terhadap sesuatu yang ada diluar diri kita. Alam adalah bagian dari sarana dan media yang dapat membantu mencapai keseimbangan hidup. Jika kita membaca riawayat hidup Buddha Gotama maka kita dapat menemukan bagaimana bentuk sikap yang dilakukan beliau terhadap pohon Bodhi, dengan rasa penuh hormat memandangi pohon Bodhi tersebut selama tujuh hari tanpa bergerak yang dikenal sebagaiamisa sattaha”, hal itu dilakukan sebagai ungkapan rasa terima kasih (Anumodana) atas jasanya yang telah memberikan naungan selama petapaannya. Peristiwa ini terjadi dua minggu setelah pencapaian kesempurnaan agung (Sammasambuddha). Didalam “Vinaya Pitaka” menuturkan tentang aturan-aturan para Bhikkhu, juga telah ditetapkan bahwa seorang Bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah (Pacittiya). Ajaran Buddha selalu memberikan inspirasi baik mengenai bagaimana sikap menghormati dan tanpa melakukan kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, saat masa musim penghujan (Vassa) para bhikkhu “tidak diperkenankan melakukan perjalanan guna menghindari kemungkinan terjadinya perusakan terhadap tunas-tunas tanaman atau mengganggu kehidupan binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vin.I.137).
Berdasarkan uraian diatas, kita dapat simpulkan bahwa lingkungan, alam dan sumber daya yang dihasilkan adalah bagian dari suatu tatanan yang utuh dan menyeluruh antara semua unsur lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Dengan demikian upaya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggungjawab yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Jaga, rawat dan lestarikanlah alam kita, agar anak cucu kita kelak dapat menghirup udara segar untuk selama-lamanya.   
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…

Diakses Melalui: Buletin Taman Alam Lumbini 2014
 

Mimbar Agama Buddha
Oleh: Bhikkhu Aggacitto


Namo Tassa Bhagavato Arahatto Sammasambuddhassa

Apamado amatam padam, pamado maccuno padam

Appamatta na miyanti, ye pamatta yatha mata
“Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian.
Orang yang sadar seolah-olah hidupnya tidak pernah mati, tetapi orang yang lengah seolah-olah hidupnya telah mati”
(Dpd. Appamada Vagga; II-21)

Seiring dengan pesatnya perkembangan Era globalisasi, telah banyak merubah peradaban manusia, baik mulai dari cara pola berpikir, kepribadian, perilaku, hingga pada cara hubungan sosial berbudaya. Tidak dipungkiri lagi perubahan tersebut telah membawa dua dimensi yang berbeda, membawa perubahan sisi positif dan sisi negatife, serta dengan adanya peningkatan tuntutan hidup dan kerasnya persaingan hidup akhirnya berdampak munculnya ganguan mental atau ketidak seimbangan batin, baik secara internal maupun secara eksternal. Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya saudara-saudara kita yang gagal dalam menyesuaikan perubahan tersebut.

Kehidupan manusia akan semakin jauh lebih baik, akan semakin lebih mulia, akan semakin lebih tenang dan damai apabila manusia mencapai keseimbangan hidup yaitu keseimbangan Batin secara Spiritual, tanpa itu semua kehidupan manusia akan menggalami kerapuahan yang berefek kepada gangguan mental. Kesehatan Mental merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia (Sumiati, dkk, 2009). Perkembangan manusia akan melewati suatu proses dialektik yang harus dilalui dan hasil dari proses dialektik ini adalah salah satu bagian dari kekuatan dasar manusia menuju “harapan, kemauan, hasrat, kompetensi, dan kebijaksanaan”, Perjuangan diantara dua kutub ini meliputi proses didalam diri individu/psikologis dan proses di luar diri individu/ sosial (Ericson).

Dari sinilah perlu kita renungkan bersama, mengapa Sang Buddha Gotama jauh sebelum 26 Abad yang lampau, jauh sebelum ilmu pengetahuan sains berkembang beliau memberikan nasehat yang perlu kita jadikan ispirasi bersama, yaitu “Apamado amatam padam, pamado maccuno padam, Appamatta na miyanti, ye pamatta yatha mata, yang artinya Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian dan orang yang sadar seolah-olah hidupnya tidak pernah mati, tetapi orang yang lengah seolah-olah hidupnya telah mati”. Dalam proses menyeimbangkan kesadaran itu, memang kita tertuntut untuk melakukan tindakan-tindakan positif baik melalui:
  1. Pengembangan sifat-sifat Caga yaitu tentang praktik kemurahan hati (Dana) yang bertujuan untuk meningkatkan benih-benih welas asih, yang bermanfaat bagi diri kita dalam melemahkan rasa ego, kebencian dan keserakahan yang membabibuta. 
  2. Pengembangan Pancasila Buddhis (Moralitas) yang bertujuan dan berfungsi sebagai alat control/pengendali terhadap perilaku yang akan kita lakukan, sehingga dengan tercapainya pengendalian diri yang baik akan memungkinkan kondisi batin jauh dari keburukan.
  3. Pengembangan Sati-Sampajanna (Samadhi) melalui bermeditasi maka banyak hal yang akan dapat diperoleh, baik sebagai perenungan (Vimamsa), relaksasi, dan yang terpenting berfanfaat sebagai media untuk melihat diri sendiri yang sesungguhnya, selain itu juga maanfaatnya akan dapat kita gunakan untuk melemahkan kekotoran batin kita masing-masing. 
Tiga hal sederhana dari tindakan-tindakan tersebut jika dikembangkan dengan baik maka hasil buahnya akan berfungsi meregresi dengan energi-energi positif didalam pikiran dan kesadaran kita, sehingga kekokohan didalam diri kita akan semakin kuat dan terjaga dengan baik meskipun kondisi lingkungan tidak mendukung sekalipun. Utthanavato satimato sucikammassa nisammakarino sannatassa ca dhammajivino appamattassa yasobhivaddhati yang artinya seseorang yang penuh semangat dan selalu sadar, murni dalam perbuatannya serta memiliki pengendalian diri dan selalu hidup sesuai dengan dhamma, selalu menjaga kewaspadaan maka kebahagiaannya akan semakin bertambah” (Dpd. Appamada Vagga II-24).

Seperti halnya disalah satu radio Australia memberitakan dimana seorang veteran perang Amerika Jason Lebrecht bergelut menghadapi kecemasan, kesepian dan depresinya berat, akhirnya ia mendapati jawaban bagi masalahnya ada dalam dirinya sendiri.  Ia merupakan satu dari semakin banyak veteran bermasalah yang berpaling ke MEDITASI, khususnya apa yang disebut transcendental meditation (TM). Dalam hasil penelitian Dr Renae Ireland menyatakan, salah satu daya tarik besar dari meditasi adalah karena begitu berbeda dari treatment yang standard, yang dikenal dengan istilah prolonged exposure therapy.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Diakses melalui; Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan 6 Januari 2014
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Mimbar Agama Buddha Medan
 
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa, 
Dunia ini terselubung kegelapan, dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas.
Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang dapat melepaskan diri; demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke alam surga.
(Loka Vagga XIII-174)

Buddha bersabda; Jivitam aniyatam maranam niayatam-Kehidupan tidaklah pasti hanya kematianlah yang pasti. Dari sabda pendek tersebut dapat di renungkan bersama bahwa kehidupan hendaknya jangan dianggap sebagai tumpuhan yang abadi. Hendaknya seseorang tidak berpikir bahwa; tubuh ini adalah milikku, harta ini adalah milikku, anak dan istri/ suami adalah milikku. Ketika seseorang berpikir dan semakin melekat terhadap sesuatu yang ada di sekelilingnya maka sama saja ia akan menjerat penderitaan bagi dirinya sendiri.

Banyak sebagian orang mengalami ketakutan sebelum menjelang kematian (Cuti Citta), mengapa itu terjadi…? Menurut ajaran Buddha kondisi itu terjadi disebabkan karena adanya “Kamma Nimitta” yaitu munculnya banyangan atau gambaran-gambaran perbuatan yang telah diperbuat semasa hidupnya (apabila perbuatan kebajikan lebih dominan maka hal itu akan membuat ketenangan dan kedamaian, berbeda jika perbuatan buruk yang lebih dominan maka ketakutan sudah pasti akan jelas ia rasakan). Selain Kamma Nimitta, masih ada lagi yaitu “Gati Nimitta” munculnya bayangan atau gambaran tempat kelahiran selanjutnya, baik tempat yang baik (Surga) atau yang buruk (Neraka). Tergantung yang lebih dominan mendorong munculnya itu yang baik atau tidak, jika baik maka gambaran kelahiran atau tempat kelahiran yang membahagiakan akan ia rasakan, demikian juga sebaliknya. Kemudia selain “Kamma Nimitta” dan “Gati Nimitta” masih ada lagi yaitu “Asanna Kamma” perbuatan yang dilakukan seseorang menjelang kematian baik melalui pikiran, ucapan ataupun perbuatan jasmani. Maka sangat dianjurkan kepada para keluarga jika dalam anggota keluargaNya megalami hal yang demikian, hendaknya tidak ada salahnya menuntunnya untuk melakukan hal-hal yang positif, seperti; melafalkan kata “Buddho” atau bisa juga dituntun untuk membacakan Paritta, atau juga bisa mengundang para Bhikkhu/Samanera untuk membacakan Paritta Mangala, dengan tujuan agar dapat membantu dalam mengkondisikan pikiran-pikiran yang positif muncul didalam dirinya, karena Pencerapan (Sanna) akan sangat berpengaruh terhadap proses kematian (Cuti Citta) dan Proses kelahiran kembali (Patisandhi Vinnana). Didalam Dhammapada Atthakatha I-15; disebutkan, seorang brahmana yang bernama “Cunda” ia adalah seorang penjagal babi lebih dari 50 tahun, yang kejam dan ia pun tidak pernah sekalipun melakukan kebajikan semasa hidupnya. Sesaat ia hendak mati, ia mengalami kesakitan yang sangat luar biasa, siang malam ia mendengkur dan menguik seperti babi sampai akhirnya ia mati, dan ia pun terlahir dialam Neraka Avici.

Berdasarkan uraian diatas hendaknya seseorang, memanfaatkan kehidupannya saat ini dengan baik, karena terlahir menjadi manusia sekarang ini merupakan sebuah keberuntungan “Kiccho manussa patilabho; terlahir menjadi manusia bukanlah hal yang mudah dan “Kiccham maccana jivitam kiccham” bertahan hidup pun juga bukanlah hal yang mudah. Seseorang tidak akan pernah tahu kapan kematiannya datang dan kematian tidak akan pernah bisa diajak kompromi sesuai dengan keinginan. Persiapkanlah mulai dari sekarang, hanya kebaikan dan kebajikan yang telah diperbuat yang dapat membantu mengkondisikan kebahagiaan. Rubahlah cara hidup dengan hal-hal yang positif, karena jika tidak sekarang kapan lagi. Jangan sampai terlambat dan jangan sampai menyesal dikemudian hari. Di dunia ini ia bahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebnajikan berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia ketika berpikir, " Aku telah berbuat bajik", dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia (Dhammapada Yamaka Vagga I-18). Berbuat baik untuk menimbun kebajikan tidak akan merugikan seseorang, sebab seperti apapun banyaknya harta materi yang dimiliki itu semua tidak akan bisa menjamin (Nidhikanda Sutta) kehidupan seseorang.

Ia terlahir dikeluarga terhormat, sehat jasmani/rohani, tidak terlahir dalam keadaan cacat, ia memiliki paras yang elok dan menawan, ia memiliki materi berlimpah, ia merasakan ketenangan dan kebahagiaan. SemuaNya didapatkan melalui kemurahan hati dalam memberi (Catukka Nipata-Anguttara Nikaya). "Bibit yang ditanam ditanah yang subur akan tumbuh menjadi tanaman yang berkualitas, yang akan menghasilkan buah yang berbobot. Tetapi jika Bibit tanaman ditanam ditanah yang tandus/ gersang maka hasil yang diperoleh pun akan sangat sedikit. Demikian juga dengan perbuatan kebajikan yang kita tanam, akan membuahkan berkah dan kebahagiaan baik kehidupan sekarang maupun nanti jika ditanam ditempat yang sesuai (Dpd.Atthakatha; 356-359, Kisah Deva Ankura).

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, 
Sadhu…Sadhu...Sadhu...

Diakses melalui; Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan 20 Feb 2014 
Mimbar Agama Buddha
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa,

Salah satu pesan terakhir Sang Buddha sebelum beliau Maha-Parinibbana (Wafat) yang dituliskan dalam kitab Digha Nikaya; 16.Maha Prinibbana Sutta, yaitu; “Ananda, Jadikanlah dirimu sebagai pulaumu, jadikanlah dirimu sebagai perlindunganmu, dan jangan pernah mencari perlindungan lain. Jadikanlah Dhamma sebagai pulaumu, jadikanlah Dhamma sebagai perlindunganmu dan jangan pernah mencari perlindungan lain, dan ingatlah selalu segala sesuatu yang ada didunia ini pada akhirnya akan mengalami kehancuran, maka dari itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh (Handa dani bhikkhave amantayami vo vaya dhamma sankhara appamadena Sampadetha). Dari sabda yang telah beliau uraikan tersebut, tersirat makna yang dapat kita jadikan renungan bersama bagi kita semua, bahwa; Buddha mengingatkan dan mengajarkan kepada kita, segala sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan hidup kita, sesungguhnya juga ada didalam diri kita masing-masing, semuanya kita sendirilah yang menjadi arsiteknya dan apapun yang kita miliki juga tidak ada yang abadi. Tercapainya kesuksesan atas semua harapan dan keinginan yang telah menjadi cita-cita, tercapainya ketenangan dan kedamaian hidup, baik didalam keluarga maupun didalam lingkungan kita berada, dan tercapainya kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan surgawi semuanya adalah karena diri kita sendiri. Akan tetapi karena ketidaktahuan (moha) didalam diri kita yang begitu besar, sehingga akhirnya semua itu kita abaikan.

Manusia sesungguhnya adalah salah satu makhluk yang memiliki kesempurnaan jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, tetapi pada kenyataannya masih banyak yang tidak mengerti akan hal itu, sehingga ia tidak mampu mengoptimalkan dirinya secara maksimal. Manusia sebenarnya memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, sayangnya keyakinan dan kepercayaan itu sangat lemah sekali. Jika kita mau memperhatikan dan merenungkan sejenak, maka kita akan mengetahui bahwa betapa lebih baiknya sekumpulan "SEMUT", mereka tidak pernah mengenal kata mengeluh didalam segala hal, mereka tetap selalu berusaha dengan penuh semangat, meskipun mereka tergolong binatang kecil yang memiliki banyak kekurangan, tetapi mereka memahami hal itu sehingga mereka dapat bekerjasama satu sama lain tanpa ada rasa saling bermusuhan atau persaingan, mereka bersama-sama bahu-membahu demi mewujudkan hal yang menguntungkan dan membahagiakan bagi sekumpulan mereka. Mereka memiliki sikap yang mulia dengan cara tidak mau menang-menangan sendiri dan mencari keuntungan sendiri didalam kelompoknya. Hal tersebut sesuai dengan yang disabdakan oleh Buddha “Sukhakamani bhutani yo dandena vihimsati attano sukhamesano pecca so na labhate sukham; barang siapa yang mencari kebahagian dari dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagian, maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan” (Dpd. Danda Vagga; X-131). Bahkan seekor kumbang saja tidak hanya mencari dan menggambil keuntungan dari sari bunga yang telah ia ambil, tetapi ia juga membantu proses penyerbukan bunga tersebut. “Lebah tidak pernah merusak kuntum bunga, baik warnanya maupun baunya;Yathapi bhamaro puppham vannagandham ahethayam paleti rasamadaya; (Dhp.49)”.

Jika dibandingkan dengan manusia tentu sungguh amat jauh berbeda, meskipun kita memiliki segala sesuatu yang tidak dimiliki "SEMUT", kita masih saja suka mengeluh dan selalu bersikap manja dengan menggantungkan semuanya kepada sesuatu yang diluar dari diri kita sendiri (*jika tidak puas pun kita menyalahkan dan meng kambing hitamkan orang lain atau bahkan BUDDHA… DEWA… TUHAN…,  sungguh ironis sekali), bahkan pola pikir rasional kita terkadang mendorong untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang salah, seperti; bergantung/ memuja/ menyembah kepada makhluk-makhluk lain atau bergantung kepada kekuatan black magic yang kita anggap sebagai penambah kekuatan, sebagai penyelamat, dll. Kita juga cenderung tidak mampu dengan baik untuk menyesuaikan diri dengan komunitas dilingkungan kita baik didalam bekerjasama maupun hidup rukun harmonis bersama-sama, yang ada hanyalah saling bersaing dan saling menjatuhkan satu sama lain demi kepuasan dan kebahagiaan diri sendiri, kita masih saja melihat perbedaan (*baik dari sukuNya, rasNya, agamaNya, dll), sehingga akhirnya memperbanyak kebencian dan permusuhan terhadap sesama. Sungguh betapa lebih baiknya sekumpulan semut, jika dibandingkan dengan diri kita. Marilah kita menyadarkan diri kita dengan belajar kepada "Semut-Semut" yang ada disekeliling kita untuk menjalani kehidupan kita dengan penuh semangat juang yang baik yang sesuai dengan ajaran Buddha demi mewujudkan kebahagiaan bagi kehidupan kita semua. Berpikirlah positif dan selalu kreatif, jangan pernah pasif tetapi cobalah untuk selalu aktif. “Kayirace kayirathenam dalhamenam parakkhame-hendaknya seseorang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati (Dpd. 313) niscaya semua akan indah pada akhirNya.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…

Diakses melalui Mimbar Agama Buddha Harian Analissa (06 Feb 2014)
Mimbar Agama Buddha,
Oleh : Bhante Aggacitto 
 
PADA dasarnya untuk memperoleh keseimbangan batin (Upekkha), kebahagiaan (Sukha) dan ketenangan (Passaddhi) hidup banyak cara untuk meraih-Nya, namun tidaklah cukup sebagai umat Buddha apabila hanya sekadar membaca Kitab Suci atau buku-buku Dhamma yang hanya bertujuan untuk memiliki pengetahuan teoritis Buddha Dhamma belaka (Bahusutta).
Buddha Gotama selalu menganjurkan kepada para siswa-Nya agar seyogianya mempraktikkan Dhamma yang telah beliau ajarkan dengan bijaksana (Tidak hanya untuk para bhikkhu saja), tapi juga bagi umat perumah tangga (Gharavassa) mempunyai kewajiban yang sama.
Pada umumnya setelah mendengar kata-kata mempraktikkan Dhamma (Patipatti Dhamma), mungkin sebagian orang akan berpikir, ”Wah…berarti saya harus ber-vegetarian, saya harus meninggalkan keluarga, saya harus melepaskan semua harta kekayaan saya, dan saya harus tinggal dan hidup di Vihara” atau mungkin akan berpikir, “Oh, saya harus menjadi Bhikkhu dan tinggal di hutan”.
Sesungguhnya, praktik Dhamma tidaklah sedemikian rupa, meskipun kita sebagai seorang umat perumah tangga (Gharavassa) kita masih bisa menjalankan dan melakukan cara-cara yang sederhana tetapi hal itu masih dalam ruang lingkung ajaran Buddha. Di dalam Dhamma Vibhaga ada dijelaskan banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh keseimbangan batin, ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari.

Dasa Punnakiriyavatthu : 
  1. Danamaya: Berdana adalah praktik Dhamma.
  2. Silamaya: Melaksanakan sila dengan sempurna adalah praktik Dhamma.
  3. Bhavanamaya: Pengembangan batin atau meditasi adalah praktik Dhamma.
  4. Apacayanamaya: Menghormat dan rendah hati adalah praktik Dhamma.
  5. Veyyavacamaya: Membantu dan melayani orang lain adalah praktik Dhamma.
  6. Patidanamaya: Memberikan jasa kepada orang/makhluk lain adalah praktik Dhamma.
  7. Pattanumodanamaya: Berbahagia melihat orang lain berbuat baik adalah praktik Dhamma.
  8. Dhammasavanamaya: Mendengarkan dan belajar Dhamma adalah praktik Dhamma.
  9. Dhammadesanamaya : Mengajarkan Dhamma  adalah praktik Dhamma.
  10. Ditthujukamma: Meluruskan pandangan agar berpandangan benar adalah praktik Dhamma.
Dari 10 poin tersebut akan lebih baik lagi jika didukung dengan adanya “Panca Bala”, yaitu:
  1. Saddha-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Keyakinan) Yaitu keyakinan terhadap Tiratana, Keyakinan adanya Hukum sebab akibat/ hukum kamma dan keyakinan adanya Punabbhava/ kelahiran kembali.
  2. Viriya-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Semangat dan ketekunan). Yaitu adanya suatu usaha yang dilakukan: Usaha mencegah hal yang buruk agar tidak muncul di dalam diri (Samvarappadhana)· Usaha untuk menghilangkan keadaan yang buruk yang telah muncul didalam diri (Pahanappadhana). Usaha untuk menimbulkan/memunculkan keadaan-keadaan yang baik didalam diri (Bhavanappadhana)· Usaha untuk menjaga dan meningkat keadaan-eadaan yang baik didalam diri (Anurakkhappadhana).
  3. Sati-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Perhatian/ Kesadaran), yaitu adanya suatu kemauan di dalam menjaga perhatian dan kesadaran (Satisampajanna) yang di dalam aktivitas yang dilakukan.
  4. Samadhi-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Kosentrasi). Yaitu adanya suatu kesadaran untuk menumbuhkembangkan kesadaran melalui perenungan-perenungan (Vimamsa) ke dalam diri.
  5. Panna-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Kebijaksanaan). Yaitu adanya penggunaan kebijaksanaan yang dipergunakan untuk melihat dan menganalisa mana yang baik dan mana yang buruk serta menanamkan Hiri dan Ottapa (Malu dan takut akan perbuatan tidak baik) di dalam diri.
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan baik maka kebahagian dan kedamaian hidup baik saat ini maupun dikehidupan yang akan datang akan dapat diperolehnya.

Diakses dari Mimbar Agama Buddha Harian Andalas-Medan

Selasa, 04 Maret 2014

Namo Buddhaya...
Dalam perealisasian pembangunan Pubharama Buddhist Centre (PBC) Kota Bangun Medan, selain membutuhkan dana tunai adapun dibutuhkan barang-barang matrial yang berupa :

  1. Baja WF
  2. Besi Cor
  3. Semen
  4. Pasir
  5. Batu Bata
  6. Batu Kali
  7. Keramik
  8. Cat 
  9. Kusen
  10. Dll

Bagi Ibu/ bapak, Sdra/i seDhamma yang berminat ingin membantu meringankan beban Panitia Pembangunan Pubharama Buddhist Centre (PBC) dapat menyesuaikan kebutuhan pembangunan. Keterangan dan Informasi lebih lanjut dapat menghubungi panitia ::

  1. Upa. Rudy Rachman 0819888683
  2. Upa. Edy Susanto 08126543129
  3. Upa. Darwin 085207548046
  4. Upi. Jenny Salim 061-77747288
  5. Upi. Karista 085261013854
  6. Upa. Karuto (asen) 08126072469
  7. Upa. Suhardi (aseng) 087868103921

Atas partisipasi dan sumbangsih untuk Pubharama Buddhist Centre, selaku panitia yang mewakili warga masyarakat umat Buddha Kota Bangun Medan mengucapkan Maha Anumodana yang sebanyak-banyakNya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,
Sadhu...Sadhu...Sadhu...

Ia terlahir dikeluarga terhormat, Sehat jasmani dan rohani,tidak terlahir dalam keadaan cacat, ia memiliki paras yang elok dan menawan,ia memiliki materi berlimpah,ia merasakan ketenangan dan kebahagiaan. SemuaNya didapatkan melalui kemurahan hati dalam memberi (Catukka Nipata - Anguttara Nikaya). 

Minggu, 02 Maret 2014