Selasa, 18 Maret 2014
Posted by Unknown on Selasa, Maret 18, 2014
with No comments so far
Kamis, 06 Maret 2014
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa,
"Akkocchi mam avadhi mam Ajini mam ahasi me ye ca tam upanayanti
veram tesam na sammati; Ia menghina saya, ia memukul saya, ia
mengalahkan saya, ia merampas milik saya, Jika seseorang sudah tidak
lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian akan
berakhir ” Dpd. Yamaka Vagga I : 4”
Salah satu penyebab penderitaan didunia ini adalah ketidakmauan kita
untuk memaafkan orang lain. Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit
berbahaya yang menggerogoti kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan
amarah. Kita marah karena dunia berjalan tak sesuai dengan kemauan kita.
Kita sering menuntut orang lain. Kita sering menuntut supaya
jalan-jalan diberi karpet untuk keselamatan kita tetapi orang bijak ia
akan selalu pakai sepatu tebal agar ia selamat dari paku, kerikil,
bahkan panasnya aspal tersebut. Kadang-kadang kita marah karena
pasangan, anak, orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak
melakukan apa yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam
kemarahan ini berhari-hari, bahkan bertahun-tahun dan lebih parah lagi
disimpan sampai tujuh keturunan. Didalam Abhidhamma dituturkan bahwa
satu jentikan menciptakan milyaran kesadaran bahkan trilliunan
kesadaran. Begitu pula dengan pikiran kita; sekali berpikir akan
berentetan milyaran kesadaran bahkan trilliunan kesadaran; tergantung
pikiran baik atau pikiran buruk. Memang banyak sekali kejadian yang
memancing emosi kita. Pengendara motor yang memaki kita, mobil yang
menyalib dan hampir membuat kita celaka, rekan-rekan yang tak mau
mendengar kita, politisi yang hanya memperjuangkan diri sendiri, adik
yang sering minta bantuan tapi tak pernah mengucapkan terima kasih,
pembantu yang membohongi kita, maupun bos yang pelitnya luar biasa. Kita
mungkin berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya
kita benci. Tapi kita lupa bahwa kebencian yang kita simpan hanyalah
merugikan kita sendiri. Dalam dhammapada dikatakan bahwa kebencian tidak
akan berakhir jika dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan
berakhir jika dibalas dengan cinta kasih. Mempraktekkan cinta kasih
adalah bentuk refleksi dari internal religion kita. Semakin orang
mengerti tentang nilai-nilai Agama semakin pula dirinya jauh dari
hal-hal yang merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sudah menjadi watak manusia, tatkala hatinya disakiti, dia akan
merasa sakit hati dan boleh jadi berujung dengan dendam. Walaupun
demikian, bukan berarti kita harus dendam setiap kali ada yang
menyakiti. Malah sebaliknya, jika kita dicela, maka doakanlah
orang-orang yang mencela itu agar mereka sadar dan menjadi orang lebih
baik dengan mengucapkan SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA (semoga semua
makhluk berbahagia). Mampukah kita melakukannya? Orang-orang bijaksana
adalah sosok yang hatinya bersih dari sifat dendam. Walau ia dihina,
dicaci-maki, difitnah, bahkan hendak dibunuh, tak sedikit pun ia
mendendam. Bahkan, ia mati-matian berbuat baik kepada orang-orang
tersebut dan begitu ringannya ia memaafkan. Penelitian menunjukkan
ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki dampak hebat terhadap tubuh
kita: menciptakan ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan sistem
kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak dan setiap organ dalam
tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit
seperti pusing, sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang
energi, cemas, tak bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia sehingga diri
kita semakin jauh dari Dhamma itu sendiri.
Baru-baru ini saya sempat berinteraksi dengan sekelompok mada-mudi
yang mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Ternyata, kebanyakan
dari mereka memendam berbagai kemarahan, baik kepada orang tua maupun
orang-orang di sekitar mereka termasuk pacar mereka dan itulah yang
menciptakan sebuah sebuah sindrom masa kini yaitu Galau Syndrome. Musuh
kita sebenarnya bukanlah orang yang membenci kita tetapi pola pikir
jelek kita lah sebagai musuh kita, yang harus diubah. Ada cerita
mengenai seorang teman bekas teman sekolah SMA dulu. Sambil mengobrol
saya bertanya, ”Apakah kamu sudah melupakan pacar kamu waktu SMA dulu?”
Jawabnya, ”Belum bisa.” Saya kemudian berkata, ”Kenapa belum? Kan sudah
bertahun-tahun.”dia tertawa kecil dan berkata, ”Karena aku sangat
membencinya bahkan kalau ingat sepertinya saya sangat muak kepadanya”.
Saya lalu bilang, “Kalau begitu, kamu masih memenjara diri kamu.” Lalu
dia termenung dan menganggukkan kepalanya. Kita harus terus berlatih
untuk mengikis sifat dendam tersebut. Jika seseorang masih berpikir,” Ia
menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik
saya; maka kebencian tidak akan berakhir. Sebaliknya jika seseorang
tanpa berpikir; Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya,
ia merampas milik saya; maka ia akan bahagia, kebencianpun akan
berakhir. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari para karateka yang
berhasil menghancurkan batubata dengan tangannya. Pertama kali
memukulnya, bata tersebut tidak langsung hancur. Tapi, dia tak patah
semangat. Diulanginya terus usaha untuk menghancurkan bata tersebut.
Akhirnya, pada pukulan kesekian, pada hari kesekian, bata tersebut
berhasil dihancurkan. Memang, tangannya bengkak-bengkak, tetapi dia
mendapatkan hasil yang diinginkan. Begitu pula dengan hati. Jika hati
dibiarkan sensitif, maka hati ini akan mudah sekali terluka. Akan
tetapi, jika hati sering dilatih, maka hati kita akan semakin siap
menghadapi pukulan dari berbagai arah. Jika kita telah disakiti
seseorang, kita jangan melihat orang tersebut, tetapi lihatlah dia
sebagai sarana ujian dan ladang amal kebajikan. Kita akan semakin sakit,
tatkala melihat dan mengingat orangnya.
Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita.
Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di luar. Karena
itu jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya,
belajarlah memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami ketidaktahuan
orang lain. Banyak orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan.
Kalaupun mereka sengaja melakukannya, itupun karena mereka sebenarnya
tak tahu. Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah untuk orang lain
tetapi untuk mereka sendiri. Orang yang suka memaki dan bersikap kasar,
meluapkan emosi, kemarahan, sebenarnya ia tak menyadari bahwa mereka
sedang menciptakan penderitaan bagi dirinya sendiri. Suatu ketika ia
akan kena batunya, Inilah konsekuensi logis dari hukum sebab-akibat. Ada
sebab pasti ada akibat.
Diakses : Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan
http://analisadaily.net/news/read/memaafkan-moment-yang-indah/9390/2014/02/27
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
SAAT kebahagiaan yang kita rasakan sirna, janganlah
mencoba untuk menyesalkan waktu, ingatlah siapa yang menguasai waktu,
siapa yang memiliki waktu dan siapa yang berkehendak terhadap waktu
disaat dulu maupun yang akan datang…? Hanya kita sendirilah yang bisa
memanage waktu. Janganlah ada kata, “seandainya dulu”, “coba dulu
saya…”, “mestinya saya dulu..”,dan lain-lain. Semuanya yang telah
terjadi itulah yang perlu kita renungkan. Saat semua yang telah terjadi
tak perlu disalahkan dan disesalkan. Semuanya itu adalah cara kita
memberi pelajaran bagi diri kita sendiri (jika tidak boleh dikatakan
kelemahan atau kekurangan atas diri kita sendiri), memberi hal-hal yang
tak akan ada disekolah, bukan materi pelajaran, semua yang terjadi itu
adalah pengalaman yang terbaik kita untuk menapaki dan menjalani hidup
yang masih menanti didepan sana.
Banyak hal yang harus kita ambil dari apa yang terjadi dimasa lalu,
dari pengalaman sendiri maupun dari apa yang terjadi disekitar kita.
Janganlah terlarut dalam kesedihan masa lalu, kalaupun itu terjadi
cukuplah satu malam saja, dan sambutlah hari esok dengan bahagia.
Bersyukurlah, itu kunci agar kita tak larut dalam kesedihan. Hidup
ini mudah jika kita terbuka. Terbuka melihat hal-hal kecil disekitar
kita, terbuka menerima cobaan yang sedikit menghambat perjalanan kita,
terbuka dalam berpikir begitu beruntungnya kita jika dibandingkan dengan
orang lain, dan masih banyak lagi keterbukaan yang harus kita lakukan
dalam menyikapi hidup. Untuk selanjutnya kita perlu berterima kasih
kepada orang-orang yang telah memberi kesempatan yang indah untuk kita.
Terutama mama dan papa kita. Itulah Bersyukur.
Dengan bersyukur, ibarat kita punya uang seribu saja kita merasa
kaya. Selain itu, bersyukur merupakan obat ampuh untuk mengobati sifat
iri. Yah…sifat dimana kita merasa cemburu ketika orang lain bahagia,
sifat yang menunjukkan kalau kita tidak punya sesuatu yang bisa kita
banggakan atau bahkan sifat yang bisa menghambat kehidupan kita.
Tidaklah sulit untuk melakukan ini. Hanya perlu kepekaan terhadap apa
yang telah kita miliki dan peka terhadap sekitar kita.
Akhirnya, untuk hari ini saja marilah kita coba meluangkan waktu
sejenak untuk mensyukuri akan apa yang telah kita dapatkan dan miliki.
Bersyukur akan waktu dan kesempatan hari ini. Bersyukur akan kesehatan
dan seluruh organ tubuh yang masih kita miliki. Bersyukur akan
orang-orang yang kita cintai; orang tua kita, saudara-saudara kita,
bersyukur akan teman-teman kita yang senantiasa ada menemani;
teman-teman yang selalu ada disaat kita bahagia ataupun sedih. Bersyukur
akan pengalaman-pengalaman yang telah kita lalui, bersyukur akan
tanggung jawab yang kita miliki; tanggung jawab yang menjadikan kita
orang yang lebih baik dari hari ke hari, bersyukur akan kebaikan yang
dapat kita berikan kepada orang lain; kebaikan yang dapat menjadikan
dunia tempat yang lebih menarik, bersyukur karena kita selalu diberi
kesempatan untuk mencintai dan kesempatan untuk menjadi orang yang
dicintai sehingga hidup menjadi penuh berarti. Hanya untuk hari ini saja
marilah kita coba untuk bersyukur, karena siapa tahu kita sudah tidak
punya kesempatan lagi untuk bersyukur, karena siapa tahu kita sudah
tidak punya kesempatan lagi untuk bersyukur esok hari. Setiap saat
setiap waktu anda mengeluh, anda selalu merasa kurang bersukur, anda
sebenarnya tidak sedang melakukan kesalahan, karena memang begitulah
sebenarnya manusia. Manusia tempat kekurangan dan kesempurnaan itu ada
karena kita saling melengkapi. Tapi taukan anda ketika anda mengeluh
berapa waktu yang anda gunakan untuk mengeluh, kenapa anda tidak mencoba
untuk menggunakan waktu itu untuk berpikir merencanakan sesuatu untuk
hari esok. Ketika anda merasa kurang, bukankah itu sebuah pemacu kita
untuk mencari yang lebih. Bahkan ketika anda kurang merasa puas bukankah
itu adalah tolok ukur kemampuan kita yang akan lebih baik kalau kita
tinggatkan. Dan ketika anda kurang bersyukur kenapa anda tidak memulai
dari sekarang untuk mensyukuri apa yang ada. Kenapa harus menunggu hari
esok kalau kita bisa melakukan sekarang. Tunggu apalagi, inilah
keajaiban bersyukur…..
Diakses : Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan
http://analisadaily.com/news/read/keajaiban-bersyukur/2549/2014/01/30
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
“Dhammapiti
Sukham Seti Vippasanena Cetasa,
Ariyappavedite
Dhamme Sada ramati pandito”
Ia yang mengenal Dhamma akan hidup
bahagia dengan pikiran tenang dan damai
Orang bijaksana selalu bergembira dalam
ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya
(Dpd. Pandita Vagga : VI Syair 79)
Pada hakikatnya kehidupan
manusia tidak akan dapat terlepas dari yang namanya hubungan antar sesama (SIMBIOSIS MUTUALISME) sebab manusia
juga dapat diartikan sebagai makhluk sosial, tentu ia masih membutuhkan bantuan
maupun dukungan dan dorongan dari pihak lain. Demikian juga kehidupan para umat
perumahtangga (garavasa) yang
mempunyai hubungan sangat erat terhadap kehidupan para Bhikkhu, salah satunya
adalah hubungan timbal balik yang pengaplikasiannya para umat perumahtangga menyokong
kebutuhan-kebutuhan pokok para Bhikkhu (Catupacaya/
Parikkhara), sedangkan para Bhikkhu juga sama memberikan
kebutuhan-kebutuhan umat dalam bentuk nilai-nilai spiritual yaitu dengan memberikan
wejangan atau nasehat dhamma yang dapat dijadikan landasan hidup untuk menuju
keharmonisasian yang lebih baik. Jadi kontribusi kedua belah pihak ini sangat
perlu dibina dan dilestarikan demi menjaga kelangsungan dan keutuhan ajaran
sang Buddha didunia, para umat perumah tangga (garavasa) dan Bhikkhu harus senantiasa saling Asih, Asah dan Asuh
agar keseimbangan umat Buddha (Bhikkhu/
Bhikkhuni, Samanera/ Samaneri dan Upasaka/ Upasika) tetap terjaga dengan
baik (Sigalovada Sutta, Digha nikaya III, 31).
Umat Buddha tentu sudah
mengerti dan memahami apa yang disebut “Hari Kathina atau Sangha Dana di Bulan
Kathina”, yang mana setiap tahunnya umat Buddha selalu menyelenggarakan di Vihara-Vihara
atau Cetiya-Cetiya. Hari
Kathina secara umumnya bisa diartikan sebagai hari bhakti atau bentuk wujud
ungkapan terima kasih (Katannukatavedi)
kepada Bhikkhu Sangha yang telah memberikan kontribusi positif bagi umat dalam
penghayatan terhadap Buddha Dhamma, yang pelaksanaannya diwujudkan dengan
memberikan persembahan dana berupa kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi sandang,
pangan dan papan (Civara : Jubah, Pindapata : makanan, Senasana : tempat tinggal (Kuti/Vihara), Gilanapaccayabhesajja
: obat-obatan). Hari
Kathina merupakan hari yang special dibandingkan dengan hari-hari lainnya untuk
menanam jasa kebajikan, tetapi hendaknya jangan disalah artikan bahwa dihari
lain/ dihari biasa tidak baik untuk melakukan kebajikan. Sebab persembahan dana
yang diberikan dihari Kathina bukan tertuju hanya kepada individu Bhikkhu
tertentu melainkan dana tersebut adalah untuk Sangha yaitu persamuan para
Bhikkhu. Tentunya ini merupakan kesempatan dan waktu yang tepat untuk menanam
jasa kebajikan diladang yang subur, karena Sangha merupakan pelestari dan
pemeliharaan ajaran Buddha yang murni, Oleh karenanya sabda Buddha menjelaskan “Sabba Danam Dhamma Danam Jinati – dari
seluruh dana, berdana untuk kepentingan dhamma jasa pahalanya melebihi segala
bentuk dana lainnya” (Dpd. Tanha Vagga
XXIV Syair 354). Terlebih didalam salah satu bagian Tipitaka “Velumakkha Sutta” telah dijelaskan "Berdana kepada orang yang
bermoral akan jauh lebih besar jasanya daripada berdana kepada orang yang tidak
mempunyai moral yang baik. Segala bentuk aktifitas dan rutinitas yang dilakukan
para Bhikkhu Sangha tidak terlepas dari yang namanya aturan (Vinaya). Secara tidak langsung semua dana
persembahan yang telah diberikan kepada Sangha akan bermanfaat dalam
pengembangan Buddha Dhamma dan tentunya semua dana tersebut tidaklah sia-sia.
Kendati demikian, umat
Buddha juga perlu memahami esensi didalam melakukan pemberian, baik kepada
Sangha maupun kepada siapa saja. Karena hal ini sangat berpengaruh kepada kesempurnaan
dari apa yang telah dilakukan. Meskipun menanam jasa kebajikan dilakukan
ditempat yang subur, akan tetapi jika benih dari yang ditanam maupun yang
menanam tidak sesuai maka semuanya juga tidak akan menghasilkan hasil yang
maksimal. Oleh karena itu ada beberapa hal yang mesti dipahami.:
1.
Cetana
Sampada (Niat)
Cetana
(niat) merupakan faktor yang sangat penting yang menjadi pendorong dalam segala
hal. Yang disebut Kamma baik maupun Kamma buruk juga didasari oleh cetana. Cetana adalah penentu/ motif dan sebagai motivator dalam melakukan
segala sesuatu, tanpa ada hal tersebut maka segalanya tidak akan pernah dapat
terlaksanakan dengan baik. Untuk itu hendaknya Cetana yang telah dimiliki tidak hanya bertujuan untuk kesenangan
indriawi, melainkan dipergunakan untuk tujuan yang luhur yaitu untuk
membebaskan diri dari kekotoran batin, untuk mengikis keserakahan, untuk
melenyapkan kebodohan dan untuk menumbuh kembangkan welas asih kepada sesama
maupun kepada semua makhluk. Cetana
(niat) yang baik dalam memberi meliputi :
- Pubbe Cetana (sebelum melakukan) Hendaknya sebelum melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan terhadap dana yang diberikan.
- Munca Cetana (sesaat melakukan) Hendaknya sesaat melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan terhadap dana yang diberikan.
- Aparapara Cetana (sesudah melakukan) Hendaknya sesudah melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan tanpa ada rasa penyesalan/kekecewaan atau terbebani dari apa yang sudah didanakan.
2.
Vatthu
Sampada (barang yang didanakan)
-
Hendaknya barang yang didanakan sebaiknya
barang-barang yang bersih
-
Tidak dari hasil pencurian atau penipuan,
didapatkan dengan usaha yang benar
-
Tidak diperoleh dengan cara melanggar hukum
Negara dan Agama
-
Dana diberikan dengan penuh hormat
3.
Pugala
Dana (penerima dana)
-
Sang Buddha pernah dituduh
seseorang: "Apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana
kepada orang tidak punya moral itu tidak ada gunanya?" Sang
Buddha kemudian menjawab"Aku tidak pernah mengatakan demikian bahwa
berdana tidak ada gunanya, meskipun orang membuang sisa-sisa dari satu panci
atau mangkuk kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para makhluk
hidup di dalamnya dapat memperoleh makanan, perbuatan inipun merupakan sumber
dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia". (Anguttara
Nikaya III : 57) dari uraian tersebut tentu sudah jelas penerima dari
dana yang diberikan berpengaruh besar, tetapi sekali lagi bukan berarti orang
yang tidak bermoral jasa kebajikan tidak, Jasa kebajikan masih tetap ada akan
tetapi nilai dari jasa tersebut tidaklah maksimal.
-
Sang Buddha juga menyatakan dan
mempertegas kepada para siswanya bahwa "Berdana kepada Sangha
sangatlah besar jasa pahalanya” (Sangha
disini terdiri menjadi dua kelompok : Samutti Sangha – yaitu yang belum
mencapai kesucian dan Ariya Sangha - yaitu yang telah mencapai kesucian).
Dari
uraian diatas semoga dapat dijadikan bahan renungan umat Buddha agar dalam
melakukan kebajikan dapat memahami esensi yang sesungguhnya, sehingga kebajikan
yang telah dilakukan dapat memberikan manfaat yang jauh lebih besar. "Sesuai dengan benih yang ditabur maka
demikian pulalah buah yang kelak akan dituai, Mereka yang menanam kebajikan
akan tumbuh kebahagiaa, demikian juga sebaliknya” (Samyutta Nikaya I:227). Membiasakan praktik untuk memberi juga
dapat berfungsi meminimalisir hal-hal yang negative muncul didalam pikiran
terlebih dapat menumbuh kembangkan pikiran-pikiran yang bijaksana untuk menuju
kepada ketenangan dan kedamaian.
Sabbe Satta
Bhavantu Sukkhitata
Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
PENGALAMAN merupakan buah hasil dari perjalanan hidup
yang telah dilalui oleh seseorang. Sumbangsihnya telah banyak memberikan
pengaruh besar terhadap perubahan didalam diri seseorang untuk menjadi semakin lebih
baik, dan setiap orang mempunyai perbedaan yang tidak
sama dalam mendeskripsikan pengalamannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan
didalam sabda-sabda Sang Buddha; Pengalaman bukanlah suatu kepercayaan yang
membabi buta yang didapatkan melalui cara berimajinasi maupun berfantasi,
melainkan sesuatu yang realita yang ditemukan dan didapatkan secara langsung,
dengan adanya pengalaman tersebut maka seseorang dapat mengembangkan dirinya
dengan nilai-nilai yang luhur untuk menemukan dan mendapatkan pemurnian pikiran
maupun kebijaksanaan dari dalam dirinya.
Ketika kondisi yang
menyenangkan diterjadi hendaknya kita tidak menyombongkan diri atas apa yang
kita capai saat ini, dan sebalinya ketika kondisi yang tidak menyenangkan
terjadi hendaknya kita menjadikannya sebuah evaluasi diri. Hidup kita tidaklah
selalu manis dan hidup tidaklah selamanya indah, kedua-duanya selalu silih
berganti karena itu bagian perpaduan yang akan menjadikan makna hidup yang
sesungguhnya. Kerumitan hidup tidak akan pernah dapat mampu kita prediksikan
secara pasti, tetapi semuanya dapat kita jalani dengan keseimbangan.
Janganlah pernah
meratapi, kecewa ataupun benci terhadap pengalaman pahit yang pernah terjadi
didalam kehidupan kita. Sadarilah, renungkanlah dan lepaskanlah, bahwa itu
semua adalah pelajaran yang akan membuat kita tumbuh berkembang menjadi lebih bijaksana.
Untuk itu sangat penting sekali bagi kita agar selalu sadar setiap saat. “Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan.
Ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar seolah-olah
hidupnya tidak akan mati, tetapi orang yang tidak sadar seolah-olah hidupnya
telah mati” (Dhammapada Appamada Vagga II;21). Hiduplah saat ini dan
lihatlah saat ini, yang lalu biarlah berlalu dan yang terpenting adalah saat
ini. Karena apa yang kita lakukan saat ini akan menentukan hari esok, baik
tidaknya hari ini yang kita lakukan akan sangat berpengaruh terhadap hari esok.
Cobalah untuk berpikir positif, selalu kreatif, aktif dan berinovatif, serta
berusahalan untuk selalu optimis. Maka niscaya hidup akan semakin lebih hidup.
Sabbe
Satta Bhavantu Sukhitatta
Saddhu…Sadhu…Sadhu…
Diakses Melalui: Mimbar Agama Buddha, 6 Maret 2014
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammasambuddhassa
Hidup ramah lingkungan, dengan cara mengurangi
perilaku-perilaku yang dapat mencemarkan
lingkungan maupun merusak alam dan berbuat sesuatu yang baik untuk bumi dengan berupaya
untuk berpartisipasi dalam mengambil bagian dari perwujudan untuk menciptakan ALAM SURGA DI DUNIA.
Mengapa hal itu perlu kita dilakukan…??? karena alam adalah bagian penting dari
lingkungan yang dapat diartikan sebagai tempat untuk membangun unsur kehidupan
dan berpengaruh besar bagi semua makhluk yang berada di dalamnya, termasuk juga
manusia. Oleh karena itu keadaan lingkungan yang baik sangat berpotensi
memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan dukungan dalam proses perkembangan dan
kelangsungan hidup. Menurut seorang tokoh terkemuka A.G. Tansley (1935) lingkungan
adalah salah satu bagian dari ekosistem yang mana memiliki suatu system yang
terbentuk oleh keterikatan hubungan timbal balik yang tidak akan pernah terpisahkan
antara makhluk hidup dengan lingkungannya, sehingga ekositem bisa diartikan juga
sebagai suatu tatanan yang utuh dan menyeluruh antara semua unsur lingkungan
hidup yang mempengaruhinya. Maka dengan demikian menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup merupakan tanggungjawab yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dewasa ini, jika kita
mengamati, sedikit sekali menemukan orang-orang yang memiliki kesadaran baik terhadap
lingkungan sekitarnya, apalagi terhadap kelestarian alam. Hal ini dapat dilihat
sejauh mana cara-cara manusia menempatkan dan memposisikan dirinya dalam
aktivitas dan produktivitas demi memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
Buddha menguraikan didalam syair Dpd.
Danda Vagga; X-131, “Sukhakamani bhutani yo dandena vihimsati attano
sukhamesano pecca so na labhate sukham; barang siapa yang mencari
kebahagian dari dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga
mendambakan kebahagian, maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan”. Sikap
untuk mensyukuri dan menghargai, serta mempergunakan maupun menjaga kelestarian
lingkungan beserta sumber daya alam yang ada sangatlah minim sekali dilakukan,
sehingga tidak heran apabila setiap kita melangkahkan kaki dari daerah satu
kedaerah yang lainnya, dari pulau ke satu ke pulau yang lainnya, maka banyak menjumpai
pemandangan-pemandangan yang tidak bersahabat terhadap lingkungan;“beberapa contoh yang sudah marak terjadi
yaitu seperti pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya sehingga sampah
menumpuk dimana-mana, pembalakan liar
(illegal logging) yang tanpa diimbangi dengan penanaman kembali (reboisasi),
pembukaan lahan yang dijadikan sebagai tempat pengembangan industry yang tanpa
memikirkan dampak buruknya terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada
didalamnya, dan masih banyak yang lainnya”.
Kondisi ini memang
sungguh memprihatinkan, padahal kondisi ini adalah masalah yang harus
diperhatikan bersama. Seseorang lebih cenderung prihatin dan kecewa terhadap dampak
buruk yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, ketimbang
memikirkan bagaimana solusinya. Seyogianya kita tidak hanya tinggal diam
melihat kondisi tersebut atau menunggu orang lain yang harus melakukan atau
mungkin berpikir “masalah ini bukan masalah saya dan biarlah orang lain yang
memikirkannya”, jika memang demikian maka selamanya perubahan menuju
yang lebih baik tidak akan pernah dapat terjadi. Seperti yang telah Buddha
sabdakan “Attanameva pathamam patirupe nivesaye-hendaknya seseorang memulai dan
mengembangkan hal-hal yang baik dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu (Dpd.158)” dan “Kayirace kayirathenam dalhamenam
parakkhame-hendaknya seseorang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati (Dpd. 313). Dari uraian Buddha diatas
dapat kita renungkan bersama bahwa, sekecil apapun usaha yang kita lakukan,
jika dengan kesungguhan hati maka pada akhirnya kita akan memperoleh hasilnya. Maka
dari itu jangan berpikir sempit bahwa sesuatu yang baik tidak akan membuat
perubahan jika itu bermanfaat bagi banyak orang, orang lain pasti akan ikut dan mendukung, terlebih
jika hal tersebut berpengaruh terhadap lingkungan hidup. Masalah sebesar apapun
dan kondisi sesulit apapun apabila dihadapi dan diatasi dengan tenang, maka
semuanya akan menjadi baik. Mari kita bekerja sama dan saling mendukung, mencari
solusi yang terbaik untuk perubahan hidup yang lebih baik.
Dalam sudut pandang
ajaran Buddha (Buddhasasana) menjaga
lingkungan dan kelestarian alam beserta sumberdaya yang ada didalamnya
merupakan salah satu bentuk wujud dari “Metta” (Cinta kasih). Didalam “Karaniyametta
Sutta” Buddha menjelaskan pengembangan cinta kasih tidak hanya
dilakukan kepada orang-orang terdekat kita, melainkan cinta kasih itu hendaknya
dikembangkan secara universal dan tidak membatasinya. Alam adalah unsur dari sumber
kehidupan bagi kita maupun makhluk-makhluk lainnya dan secara tidak langsung ketika
kita mencintai lingkungan dan alam yang kita tempati, membuktikan bahwa kita
telah mencintai semua makhluk yang berada didalamnya. Pada prosesnya lingkungan
dan sumberdaya alam yang ada mempunyai hubungan timbal balik yang menguntungkan,
menurut hukum sebab-musabab hal itu dibenarkan karena pada intinya mempunyai
hubungan proses ketertikatan. Oleh sebab
itu, ketika kita tidak mampu mencintai dan menjaga kelestarian lingkungan serta
tidak seimbang mempergunakan semua sumber daya alam yang dihasilkan, maka kita
tidak dapat menjaga kelangsungan hidup dengan baik. Untuk menegaskan betapa pentingnya lingkungan dan sumber daya
alam bagi kehidupan, Buddha memberikan perumpamaan yang sangat luar biasa
yaitu, “Yathapi bhamaro puppham vannagandham ahethayam paleti rasamadaya-Bagaikan
seekor lebah yang tidak pernah merusak kuntum bunga, baik warnanya maupun
baunya (Dhp.49)”. Didalam ekosistem tersebut lebah tidak
hanya mengambil keuntungan dari bunga, akan tetapi juga sekaligus membayarnya dengan
penyerbukan. Perilaku yang dilakukan lebah tentu memberikan inspirasi tentang
bagaimana seharusnya seseorang menggunakan sumber daya alam yang terbatas
(Wijaya-Mukti, 2004). Sebagai
tambahan jika alam mempunyai fungsi besar bagi kehidupan manusia maka dapat
dilihat dari “Agganna Sutta” yang menunjukan hubungan timbal balik perilaku
manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (Sali) yang pertama kali dikenal berupa
butiran yang bersih tanpa sekam. Padi tersebut dipetik ketika sore hari, kemudian
berbuah kembali keesokan harinya. Di petik pagi-pagi, berbutir padi itu kembali
tumbuh di sore hari. Semula manusia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali
makan, akan tetapi timbulah didalam pikiran manusia; “bukankah lebih baik jika mengumpulkan padi yang cukup untuk persediaan
makan siang dan makan malam sekaligus, lalu pikiran berikutnya muncul kembali, bukankah
lebih baik lagi jikalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari
dan seterusnya”. Sejak saat itulah manusia mulai menimbun padi, sehingga
padi yang telah dipanen tidak tumbuh lagi. Sehingga akibat dari keserakahan itu,
manusia akhirnya harus menanam dan menunggu dengan waktu yang cukup lama.
Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun dan butiran-butiran padi mulai berkulit
sekam (D.II.88-90).
Dari uraian tersebut
dapat dilukiskan bahwa keterikatan sumber daya alam dan tindakan manusia
mempunyai peranan penting terhadap hasil akhir dan proses kelangsungan
hidupnya. Ajaran Buddha tidak semata-mata menitik beratkan kepada cara-cara
bagaimana menuju kepada perealisasi sejati, melainkan beliau juga mengajarkan
bagaimana sikap yang harus dilakukan dalam menempatkan diri yang baik terhadap
sesuatu yang ada diluar diri kita. Alam adalah bagian dari sarana dan media
yang dapat membantu mencapai keseimbangan hidup. Jika kita membaca riawayat
hidup Buddha Gotama maka kita dapat menemukan bagaimana bentuk sikap yang dilakukan
beliau terhadap pohon Bodhi, dengan rasa penuh hormat memandangi pohon Bodhi
tersebut selama tujuh hari tanpa bergerak yang dikenal sebagai“amisa
sattaha”, hal itu dilakukan sebagai ungkapan rasa terima kasih (Anumodana)
atas jasanya yang telah memberikan naungan selama petapaannya. Peristiwa ini
terjadi dua minggu setelah pencapaian kesempurnaan agung (Sammasambuddha). Didalam “Vinaya Pitaka” menuturkan tentang
aturan-aturan para Bhikkhu, juga telah ditetapkan bahwa seorang Bhikkhu yang
menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah (Pacittiya). Ajaran Buddha selalu memberikan inspirasi baik mengenai
bagaimana sikap menghormati dan tanpa melakukan kekerasan, tidak hanya berlaku
terhadap semua makhluk hidup, saat masa musim penghujan (Vassa) para bhikkhu “tidak diperkenankan melakukan perjalanan guna
menghindari kemungkinan terjadinya perusakan terhadap tunas-tunas tanaman atau
mengganggu kehidupan binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vin.I.137).
Berdasarkan uraian
diatas, kita dapat simpulkan bahwa lingkungan, alam dan sumber daya yang
dihasilkan adalah bagian dari suatu tatanan yang utuh dan menyeluruh antara
semua unsur lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Dengan demikian upaya
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggungjawab yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Jaga, rawat dan lestarikanlah alam kita,
agar anak cucu kita kelak dapat menghirup udara segar untuk selama-lamanya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Diakses Melalui: Buletin Taman Alam Lumbini 2014
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Mimbar Agama Buddha
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahatto Sammasambuddhassa
Apamado amatam padam, pamado maccuno padam
Appamatta na miyanti, ye pamatta yatha mata
“Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian.
Orang yang sadar seolah-olah hidupnya tidak pernah mati, tetapi orang yang lengah seolah-olah hidupnya telah mati”
(Dpd. Appamada Vagga; II-21)
Kehidupan manusia akan semakin jauh lebih baik, akan semakin lebih mulia, akan semakin lebih tenang dan damai apabila manusia mencapai keseimbangan hidup yaitu keseimbangan Batin secara Spiritual, tanpa itu semua kehidupan manusia akan menggalami kerapuahan yang berefek kepada gangguan mental. Kesehatan Mental merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia (Sumiati, dkk, 2009). Perkembangan manusia akan melewati suatu proses dialektik yang harus dilalui dan hasil dari proses dialektik ini adalah salah satu bagian dari kekuatan dasar manusia menuju “harapan, kemauan, hasrat, kompetensi, dan kebijaksanaan”, Perjuangan diantara dua kutub ini meliputi proses didalam diri individu/psikologis dan proses di luar diri individu/ sosial (Ericson).
Dari sinilah perlu kita renungkan bersama, mengapa Sang Buddha Gotama jauh sebelum 26 Abad yang lampau, jauh sebelum ilmu pengetahuan sains berkembang beliau memberikan nasehat yang perlu kita jadikan ispirasi bersama, yaitu “Apamado amatam padam, pamado maccuno padam, Appamatta na miyanti, ye pamatta yatha mata, yang artinya Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian dan orang yang sadar seolah-olah hidupnya tidak pernah mati, tetapi orang yang lengah seolah-olah hidupnya telah mati”. Dalam proses menyeimbangkan kesadaran itu, memang kita tertuntut untuk melakukan tindakan-tindakan positif baik melalui:
- Pengembangan sifat-sifat Caga yaitu tentang praktik kemurahan hati (Dana) yang bertujuan untuk meningkatkan benih-benih welas asih, yang bermanfaat bagi diri kita dalam melemahkan rasa ego, kebencian dan keserakahan yang membabibuta.
- Pengembangan Pancasila Buddhis (Moralitas) yang bertujuan dan berfungsi sebagai alat control/pengendali terhadap perilaku yang akan kita lakukan, sehingga dengan tercapainya pengendalian diri yang baik akan memungkinkan kondisi batin jauh dari keburukan.
- Pengembangan Sati-Sampajanna (Samadhi) melalui bermeditasi maka banyak hal yang akan dapat diperoleh, baik sebagai perenungan (Vimamsa), relaksasi, dan yang terpenting berfanfaat sebagai media untuk melihat diri sendiri yang sesungguhnya, selain itu juga maanfaatnya akan dapat kita gunakan untuk melemahkan kekotoran batin kita masing-masing.
Seperti halnya disalah satu radio Australia memberitakan dimana seorang veteran perang Amerika Jason Lebrecht bergelut menghadapi kecemasan, kesepian dan depresinya berat, akhirnya ia mendapati jawaban bagi masalahnya ada dalam dirinya sendiri. Ia merupakan satu dari semakin banyak veteran bermasalah yang berpaling ke MEDITASI, khususnya apa yang disebut transcendental meditation (TM). Dalam hasil penelitian Dr Renae Ireland menyatakan, salah satu daya tarik besar dari meditasi adalah karena begitu berbeda dari treatment yang standard, yang dikenal dengan istilah prolonged exposure therapy.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Diakses melalui; Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan 6 Januari 2014
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Mimbar Agama Buddha Medan
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa,
Dunia ini terselubung
kegelapan, dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas.
Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang dapat
melepaskan diri; demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke
alam surga.
(Loka Vagga XIII-174)
Buddha bersabda; Jivitam aniyatam maranam niayatam-Kehidupan tidaklah
pasti hanya kematianlah yang pasti. Dari sabda pendek tersebut dapat di
renungkan bersama bahwa kehidupan hendaknya jangan dianggap sebagai
tumpuhan yang abadi. Hendaknya seseorang tidak berpikir bahwa; tubuh ini
adalah milikku, harta ini adalah milikku, anak dan istri/ suami adalah
milikku. Ketika seseorang berpikir dan semakin melekat terhadap sesuatu
yang ada di sekelilingnya maka sama saja ia akan menjerat penderitaan
bagi dirinya sendiri.
Banyak sebagian orang mengalami ketakutan sebelum menjelang kematian
(Cuti Citta), mengapa itu terjadi…? Menurut ajaran Buddha kondisi itu
terjadi disebabkan karena adanya “Kamma Nimitta” yaitu munculnya
banyangan atau gambaran-gambaran perbuatan yang telah diperbuat semasa
hidupnya (apabila perbuatan kebajikan lebih dominan maka hal itu akan
membuat ketenangan dan kedamaian, berbeda jika perbuatan buruk yang
lebih dominan maka ketakutan sudah pasti akan jelas ia rasakan). Selain
Kamma Nimitta, masih ada lagi yaitu “Gati Nimitta” munculnya bayangan
atau gambaran tempat kelahiran selanjutnya, baik tempat yang baik
(Surga) atau yang buruk (Neraka). Tergantung yang lebih dominan
mendorong munculnya itu yang baik atau tidak, jika baik maka gambaran
kelahiran atau tempat kelahiran yang membahagiakan akan ia rasakan,
demikian juga sebaliknya. Kemudia selain “Kamma Nimitta” dan “Gati
Nimitta” masih ada lagi yaitu “Asanna Kamma” perbuatan yang dilakukan
seseorang menjelang kematian baik melalui pikiran, ucapan ataupun
perbuatan jasmani. Maka sangat dianjurkan kepada para keluarga jika
dalam anggota keluargaNya megalami hal yang demikian, hendaknya tidak
ada salahnya menuntunnya untuk melakukan hal-hal yang positif, seperti;
melafalkan kata “Buddho” atau bisa juga dituntun untuk membacakan
Paritta, atau juga bisa mengundang para Bhikkhu/Samanera untuk
membacakan Paritta Mangala, dengan tujuan agar dapat membantu dalam
mengkondisikan pikiran-pikiran yang positif muncul didalam dirinya,
karena Pencerapan (Sanna) akan sangat berpengaruh terhadap proses
kematian (Cuti Citta) dan Proses kelahiran kembali (Patisandhi Vinnana).
Didalam Dhammapada Atthakatha I-15; disebutkan, seorang brahmana yang
bernama “Cunda” ia adalah seorang penjagal babi lebih dari 50 tahun,
yang kejam dan ia pun tidak pernah sekalipun melakukan kebajikan semasa
hidupnya. Sesaat ia hendak mati, ia mengalami kesakitan yang sangat luar
biasa, siang malam ia mendengkur dan menguik seperti babi sampai
akhirnya ia mati, dan ia pun terlahir dialam Neraka Avici.
Berdasarkan uraian diatas hendaknya seseorang, memanfaatkan
kehidupannya saat ini dengan baik, karena terlahir menjadi manusia
sekarang ini merupakan sebuah keberuntungan “Kiccho manussa patilabho;
terlahir menjadi manusia bukanlah hal yang mudah dan “Kiccham maccana
jivitam kiccham” bertahan hidup pun juga bukanlah hal yang mudah.
Seseorang tidak akan pernah tahu kapan kematiannya datang dan kematian
tidak akan pernah bisa diajak kompromi sesuai dengan keinginan.
Persiapkanlah mulai dari sekarang, hanya kebaikan dan kebajikan yang
telah diperbuat yang dapat membantu mengkondisikan kebahagiaan. Rubahlah
cara hidup dengan hal-hal yang positif, karena jika tidak sekarang
kapan lagi. Jangan sampai terlambat dan jangan sampai menyesal
dikemudian hari. Di dunia ini ia bahagia, di dunia sana ia berbahagia;
pelaku kebnajikan berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia
ketika berpikir, " Aku telah berbuat bajik", dan ia akan lebih
berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia (Dhammapada Yamaka Vagga
I-18). Berbuat baik untuk menimbun kebajikan tidak akan merugikan
seseorang, sebab seperti apapun banyaknya harta materi yang dimiliki itu
semua tidak akan bisa menjamin (Nidhikanda Sutta) kehidupan seseorang.
Ia terlahir dikeluarga terhormat, sehat jasmani/rohani, tidak
terlahir dalam keadaan cacat, ia memiliki paras yang elok dan menawan,
ia memiliki materi berlimpah, ia merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
SemuaNya didapatkan melalui kemurahan hati dalam memberi (Catukka
Nipata-Anguttara Nikaya). "Bibit yang ditanam ditanah yang subur akan
tumbuh menjadi tanaman yang berkualitas, yang akan menghasilkan buah
yang berbobot. Tetapi jika Bibit tanaman ditanam ditanah yang tandus/
gersang maka hasil yang diperoleh pun akan sangat sedikit. Demikian juga
dengan perbuatan kebajikan yang kita tanam, akan membuahkan berkah dan
kebahagiaan baik kehidupan sekarang maupun nanti jika ditanam ditempat
yang sesuai (Dpd.Atthakatha; 356-359, Kisah Deva Ankura).
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia,
Sadhu…Sadhu...Sadhu...
Diakses melalui; Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan 20 Feb 2014
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Mimbar Agama Buddha
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa,
Salah satu pesan terakhir Sang Buddha sebelum beliau Maha-Parinibbana (Wafat) yang dituliskan dalam kitab Digha Nikaya; 16.Maha Prinibbana Sutta, yaitu; “Ananda, Jadikanlah dirimu sebagai pulaumu, jadikanlah dirimu sebagai perlindunganmu, dan jangan pernah mencari perlindungan lain. Jadikanlah Dhamma sebagai pulaumu, jadikanlah Dhamma sebagai perlindunganmu dan jangan pernah mencari perlindungan lain, dan ingatlah selalu segala sesuatu yang ada didunia ini pada akhirnya akan mengalami kehancuran, maka dari itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh (Handa dani bhikkhave amantayami vo vaya dhamma sankhara appamadena Sampadetha). Dari sabda yang telah beliau uraikan tersebut, tersirat makna yang dapat kita jadikan renungan bersama bagi kita semua, bahwa; Buddha mengingatkan dan mengajarkan kepada kita, segala sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan hidup kita, sesungguhnya juga ada didalam diri kita masing-masing, semuanya kita sendirilah yang menjadi arsiteknya dan apapun yang kita miliki juga tidak ada yang abadi. Tercapainya kesuksesan atas semua harapan dan keinginan yang telah menjadi cita-cita, tercapainya ketenangan dan kedamaian hidup, baik didalam keluarga maupun didalam lingkungan kita berada, dan tercapainya kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan surgawi semuanya adalah karena diri kita sendiri. Akan tetapi karena ketidaktahuan (moha) didalam diri kita yang begitu besar, sehingga akhirnya semua itu kita abaikan.
Manusia sesungguhnya adalah salah satu makhluk yang memiliki kesempurnaan jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, tetapi pada kenyataannya masih banyak yang tidak mengerti akan hal itu, sehingga ia tidak mampu mengoptimalkan dirinya secara maksimal. Manusia sebenarnya memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, sayangnya keyakinan dan kepercayaan itu sangat lemah sekali. Jika kita mau memperhatikan dan merenungkan sejenak, maka kita akan mengetahui bahwa betapa lebih baiknya sekumpulan "SEMUT", mereka tidak pernah mengenal kata mengeluh didalam segala hal, mereka tetap selalu berusaha dengan penuh semangat, meskipun mereka tergolong binatang kecil yang memiliki banyak kekurangan, tetapi mereka memahami hal itu sehingga mereka dapat bekerjasama satu sama lain tanpa ada rasa saling bermusuhan atau persaingan, mereka bersama-sama bahu-membahu demi mewujudkan hal yang menguntungkan dan membahagiakan bagi sekumpulan mereka. Mereka memiliki sikap yang mulia dengan cara tidak mau menang-menangan sendiri dan mencari keuntungan sendiri didalam kelompoknya. Hal tersebut sesuai dengan yang disabdakan oleh Buddha “Sukhakamani bhutani yo dandena vihimsati attano sukhamesano pecca so na labhate sukham; barang siapa yang mencari kebahagian dari dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagian, maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan” (Dpd. Danda Vagga; X-131). Bahkan seekor kumbang saja tidak hanya mencari dan menggambil keuntungan dari sari bunga yang telah ia ambil, tetapi ia juga membantu proses penyerbukan bunga tersebut. “Lebah tidak pernah merusak kuntum bunga, baik warnanya maupun baunya;Yathapi bhamaro puppham vannagandham ahethayam paleti rasamadaya; (Dhp.49)”.
Jika dibandingkan dengan manusia tentu sungguh amat jauh berbeda, meskipun kita memiliki segala sesuatu yang tidak dimiliki "SEMUT", kita masih saja suka mengeluh dan selalu bersikap manja dengan menggantungkan semuanya kepada sesuatu yang diluar dari diri kita sendiri (*jika tidak puas pun kita menyalahkan dan meng kambing hitamkan orang lain atau bahkan BUDDHA… DEWA… TUHAN…, sungguh ironis sekali), bahkan pola pikir rasional kita terkadang mendorong untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang salah, seperti; bergantung/ memuja/ menyembah kepada makhluk-makhluk lain atau bergantung kepada kekuatan black magic yang kita anggap sebagai penambah kekuatan, sebagai penyelamat, dll. Kita juga cenderung tidak mampu dengan baik untuk menyesuaikan diri dengan komunitas dilingkungan kita baik didalam bekerjasama maupun hidup rukun harmonis bersama-sama, yang ada hanyalah saling bersaing dan saling menjatuhkan satu sama lain demi kepuasan dan kebahagiaan diri sendiri, kita masih saja melihat perbedaan (*baik dari sukuNya, rasNya, agamaNya, dll), sehingga akhirnya memperbanyak kebencian dan permusuhan terhadap sesama. Sungguh betapa lebih baiknya sekumpulan semut, jika dibandingkan dengan diri kita. Marilah kita menyadarkan diri kita dengan belajar kepada "Semut-Semut" yang ada disekeliling kita untuk menjalani kehidupan kita dengan penuh semangat juang yang baik yang sesuai dengan ajaran Buddha demi mewujudkan kebahagiaan bagi kehidupan kita semua. Berpikirlah positif dan selalu kreatif, jangan pernah pasif tetapi cobalah untuk selalu aktif. “Kayirace kayirathenam dalhamenam parakkhame-hendaknya seseorang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati (Dpd. 313) niscaya semua akan indah pada akhirNya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Diakses melalui Mimbar Agama Buddha Harian Analissa (06 Feb 2014)
Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa,
Salah satu pesan terakhir Sang Buddha sebelum beliau Maha-Parinibbana (Wafat) yang dituliskan dalam kitab Digha Nikaya; 16.Maha Prinibbana Sutta, yaitu; “Ananda, Jadikanlah dirimu sebagai pulaumu, jadikanlah dirimu sebagai perlindunganmu, dan jangan pernah mencari perlindungan lain. Jadikanlah Dhamma sebagai pulaumu, jadikanlah Dhamma sebagai perlindunganmu dan jangan pernah mencari perlindungan lain, dan ingatlah selalu segala sesuatu yang ada didunia ini pada akhirnya akan mengalami kehancuran, maka dari itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh (Handa dani bhikkhave amantayami vo vaya dhamma sankhara appamadena Sampadetha). Dari sabda yang telah beliau uraikan tersebut, tersirat makna yang dapat kita jadikan renungan bersama bagi kita semua, bahwa; Buddha mengingatkan dan mengajarkan kepada kita, segala sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan hidup kita, sesungguhnya juga ada didalam diri kita masing-masing, semuanya kita sendirilah yang menjadi arsiteknya dan apapun yang kita miliki juga tidak ada yang abadi. Tercapainya kesuksesan atas semua harapan dan keinginan yang telah menjadi cita-cita, tercapainya ketenangan dan kedamaian hidup, baik didalam keluarga maupun didalam lingkungan kita berada, dan tercapainya kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan surgawi semuanya adalah karena diri kita sendiri. Akan tetapi karena ketidaktahuan (moha) didalam diri kita yang begitu besar, sehingga akhirnya semua itu kita abaikan.
Manusia sesungguhnya adalah salah satu makhluk yang memiliki kesempurnaan jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, tetapi pada kenyataannya masih banyak yang tidak mengerti akan hal itu, sehingga ia tidak mampu mengoptimalkan dirinya secara maksimal. Manusia sebenarnya memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, sayangnya keyakinan dan kepercayaan itu sangat lemah sekali. Jika kita mau memperhatikan dan merenungkan sejenak, maka kita akan mengetahui bahwa betapa lebih baiknya sekumpulan "SEMUT", mereka tidak pernah mengenal kata mengeluh didalam segala hal, mereka tetap selalu berusaha dengan penuh semangat, meskipun mereka tergolong binatang kecil yang memiliki banyak kekurangan, tetapi mereka memahami hal itu sehingga mereka dapat bekerjasama satu sama lain tanpa ada rasa saling bermusuhan atau persaingan, mereka bersama-sama bahu-membahu demi mewujudkan hal yang menguntungkan dan membahagiakan bagi sekumpulan mereka. Mereka memiliki sikap yang mulia dengan cara tidak mau menang-menangan sendiri dan mencari keuntungan sendiri didalam kelompoknya. Hal tersebut sesuai dengan yang disabdakan oleh Buddha “Sukhakamani bhutani yo dandena vihimsati attano sukhamesano pecca so na labhate sukham; barang siapa yang mencari kebahagian dari dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagian, maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan” (Dpd. Danda Vagga; X-131). Bahkan seekor kumbang saja tidak hanya mencari dan menggambil keuntungan dari sari bunga yang telah ia ambil, tetapi ia juga membantu proses penyerbukan bunga tersebut. “Lebah tidak pernah merusak kuntum bunga, baik warnanya maupun baunya;Yathapi bhamaro puppham vannagandham ahethayam paleti rasamadaya; (Dhp.49)”.
Jika dibandingkan dengan manusia tentu sungguh amat jauh berbeda, meskipun kita memiliki segala sesuatu yang tidak dimiliki "SEMUT", kita masih saja suka mengeluh dan selalu bersikap manja dengan menggantungkan semuanya kepada sesuatu yang diluar dari diri kita sendiri (*jika tidak puas pun kita menyalahkan dan meng kambing hitamkan orang lain atau bahkan BUDDHA… DEWA… TUHAN…, sungguh ironis sekali), bahkan pola pikir rasional kita terkadang mendorong untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang salah, seperti; bergantung/ memuja/ menyembah kepada makhluk-makhluk lain atau bergantung kepada kekuatan black magic yang kita anggap sebagai penambah kekuatan, sebagai penyelamat, dll. Kita juga cenderung tidak mampu dengan baik untuk menyesuaikan diri dengan komunitas dilingkungan kita baik didalam bekerjasama maupun hidup rukun harmonis bersama-sama, yang ada hanyalah saling bersaing dan saling menjatuhkan satu sama lain demi kepuasan dan kebahagiaan diri sendiri, kita masih saja melihat perbedaan (*baik dari sukuNya, rasNya, agamaNya, dll), sehingga akhirnya memperbanyak kebencian dan permusuhan terhadap sesama. Sungguh betapa lebih baiknya sekumpulan semut, jika dibandingkan dengan diri kita. Marilah kita menyadarkan diri kita dengan belajar kepada "Semut-Semut" yang ada disekeliling kita untuk menjalani kehidupan kita dengan penuh semangat juang yang baik yang sesuai dengan ajaran Buddha demi mewujudkan kebahagiaan bagi kehidupan kita semua. Berpikirlah positif dan selalu kreatif, jangan pernah pasif tetapi cobalah untuk selalu aktif. “Kayirace kayirathenam dalhamenam parakkhame-hendaknya seseorang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati (Dpd. 313) niscaya semua akan indah pada akhirNya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Diakses melalui Mimbar Agama Buddha Harian Analissa (06 Feb 2014)
Posted by Unknown on Kamis, Maret 06, 2014
with No comments so far
Mimbar Agama Buddha,
Oleh : Bhante Aggacitto
PADA dasarnya untuk memperoleh keseimbangan batin (Upekkha),
kebahagiaan (Sukha) dan ketenangan (Passaddhi) hidup banyak cara untuk
meraih-Nya, namun tidaklah cukup sebagai umat Buddha apabila hanya
sekadar membaca Kitab Suci atau buku-buku Dhamma yang hanya bertujuan
untuk memiliki pengetahuan teoritis Buddha Dhamma belaka (Bahusutta).
Buddha Gotama selalu menganjurkan kepada para siswa-Nya agar
seyogianya mempraktikkan Dhamma yang telah beliau ajarkan dengan
bijaksana (Tidak hanya untuk para bhikkhu saja), tapi juga bagi umat
perumah tangga (Gharavassa) mempunyai kewajiban yang sama.
Pada umumnya setelah mendengar kata-kata mempraktikkan Dhamma
(Patipatti Dhamma), mungkin sebagian orang akan berpikir, ”Wah…berarti
saya harus ber-vegetarian, saya harus meninggalkan keluarga, saya harus
melepaskan semua harta kekayaan saya, dan saya harus tinggal dan hidup
di Vihara” atau mungkin akan berpikir, “Oh, saya harus menjadi Bhikkhu
dan tinggal di hutan”.
Sesungguhnya, praktik Dhamma tidaklah sedemikian rupa, meskipun kita
sebagai seorang umat perumah tangga (Gharavassa) kita masih bisa
menjalankan dan melakukan cara-cara yang sederhana tetapi hal itu masih
dalam ruang lingkung ajaran Buddha. Di dalam Dhamma Vibhaga ada
dijelaskan banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh
keseimbangan batin, ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan
sehari-hari.
Dasa Punnakiriyavatthu :
- Danamaya: Berdana adalah praktik Dhamma.
- Silamaya: Melaksanakan sila dengan sempurna adalah praktik Dhamma.
- Bhavanamaya: Pengembangan batin atau meditasi adalah praktik Dhamma.
- Apacayanamaya: Menghormat dan rendah hati adalah praktik Dhamma.
- Veyyavacamaya: Membantu dan melayani orang lain adalah praktik Dhamma.
- Patidanamaya: Memberikan jasa kepada orang/makhluk lain adalah praktik Dhamma.
- Pattanumodanamaya: Berbahagia melihat orang lain berbuat baik adalah praktik Dhamma.
- Dhammasavanamaya: Mendengarkan dan belajar Dhamma adalah praktik Dhamma.
- Dhammadesanamaya : Mengajarkan Dhamma adalah praktik Dhamma.
- Ditthujukamma: Meluruskan pandangan agar berpandangan benar adalah praktik Dhamma.
Dari 10 poin tersebut akan lebih baik lagi jika didukung dengan adanya “Panca Bala”, yaitu:
- Saddha-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Keyakinan) Yaitu keyakinan terhadap Tiratana, Keyakinan adanya Hukum sebab akibat/ hukum kamma dan keyakinan adanya Punabbhava/ kelahiran kembali.
- Viriya-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Semangat dan ketekunan). Yaitu adanya suatu usaha yang dilakukan: Usaha mencegah hal yang buruk agar tidak muncul di dalam diri (Samvarappadhana)· Usaha untuk menghilangkan keadaan yang buruk yang telah muncul didalam diri (Pahanappadhana). Usaha untuk menimbulkan/memunculkan keadaan-keadaan yang baik didalam diri (Bhavanappadhana)· Usaha untuk menjaga dan meningkat keadaan-eadaan yang baik didalam diri (Anurakkhappadhana).
- Sati-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Perhatian/ Kesadaran), yaitu adanya suatu kemauan di dalam menjaga perhatian dan kesadaran (Satisampajanna) yang di dalam aktivitas yang dilakukan.
- Samadhi-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Kosentrasi). Yaitu adanya suatu kesadaran untuk menumbuhkembangkan kesadaran melalui perenungan-perenungan (Vimamsa) ke dalam diri.
- Panna-Bala (Kekuatan yang bersumber dari Kebijaksanaan). Yaitu adanya penggunaan kebijaksanaan yang dipergunakan untuk melihat dan menganalisa mana yang baik dan mana yang buruk serta menanamkan Hiri dan Ottapa (Malu dan takut akan perbuatan tidak baik) di dalam diri.
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan baik maka kebahagian
dan kedamaian hidup baik saat ini maupun dikehidupan yang akan datang
akan dapat diperolehnya.
Diakses dari Mimbar Agama Buddha Harian Andalas-Medan
Selasa, 04 Maret 2014
Posted by Unknown on Selasa, Maret 04, 2014
with No comments so far
Namo Buddhaya...
Bagi Ibu/ bapak, Sdra/i seDhamma yang berminat ingin membantu meringankan beban Panitia Pembangunan Pubharama Buddhist Centre (PBC) dapat menyesuaikan kebutuhan pembangunan. Keterangan dan Informasi lebih lanjut dapat menghubungi panitia ::
Atas partisipasi dan sumbangsih untuk Pubharama Buddhist Centre, selaku panitia yang mewakili warga masyarakat umat Buddha Kota Bangun Medan mengucapkan Maha Anumodana yang sebanyak-banyakNya.
Dalam perealisasian pembangunan Pubharama Buddhist Centre (PBC) Kota Bangun Medan, selain membutuhkan dana tunai adapun dibutuhkan barang-barang matrial yang berupa :
- Baja WF
- Besi Cor
- Semen
- Pasir
- Batu Bata
- Batu Kali
- Keramik
- Cat
- Kusen
- Dll
Bagi Ibu/ bapak, Sdra/i seDhamma yang berminat ingin membantu meringankan beban Panitia Pembangunan Pubharama Buddhist Centre (PBC) dapat menyesuaikan kebutuhan pembangunan. Keterangan dan Informasi lebih lanjut dapat menghubungi panitia ::
- Upa. Rudy Rachman 0819888683
- Upa. Edy Susanto 08126543129
- Upa. Darwin 085207548046
- Upi. Jenny Salim 061-77747288
- Upi. Karista 085261013854
- Upa. Karuto (asen) 08126072469
- Upa. Suhardi (aseng) 087868103921
Atas partisipasi dan sumbangsih untuk Pubharama Buddhist Centre, selaku panitia yang mewakili warga masyarakat umat Buddha Kota Bangun Medan mengucapkan Maha Anumodana yang sebanyak-banyakNya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,
Sadhu...Sadhu...Sadhu...
Ia terlahir dikeluarga terhormat, Sehat jasmani dan rohani,tidak terlahir dalam keadaan cacat, ia memiliki paras yang elok dan menawan,ia memiliki materi berlimpah,ia merasakan ketenangan dan kebahagiaan. SemuaNya didapatkan melalui kemurahan hati dalam memberi (Catukka Nipata - Anguttara Nikaya).
Minggu, 02 Maret 2014
Posted by Unknown on Minggu, Maret 02, 2014
with No comments so far
Langganan:
Postingan (Atom)