Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammasambuddhassa
Hidup ramah lingkungan, dengan cara mengurangi
perilaku-perilaku yang dapat mencemarkan
lingkungan maupun merusak alam dan berbuat sesuatu yang baik untuk bumi dengan berupaya
untuk berpartisipasi dalam mengambil bagian dari perwujudan untuk menciptakan ALAM SURGA DI DUNIA.
Mengapa hal itu perlu kita dilakukan…??? karena alam adalah bagian penting dari
lingkungan yang dapat diartikan sebagai tempat untuk membangun unsur kehidupan
dan berpengaruh besar bagi semua makhluk yang berada di dalamnya, termasuk juga
manusia. Oleh karena itu keadaan lingkungan yang baik sangat berpotensi
memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan dukungan dalam proses perkembangan dan
kelangsungan hidup. Menurut seorang tokoh terkemuka A.G. Tansley (1935) lingkungan
adalah salah satu bagian dari ekosistem yang mana memiliki suatu system yang
terbentuk oleh keterikatan hubungan timbal balik yang tidak akan pernah terpisahkan
antara makhluk hidup dengan lingkungannya, sehingga ekositem bisa diartikan juga
sebagai suatu tatanan yang utuh dan menyeluruh antara semua unsur lingkungan
hidup yang mempengaruhinya. Maka dengan demikian menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup merupakan tanggungjawab yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dewasa ini, jika kita
mengamati, sedikit sekali menemukan orang-orang yang memiliki kesadaran baik terhadap
lingkungan sekitarnya, apalagi terhadap kelestarian alam. Hal ini dapat dilihat
sejauh mana cara-cara manusia menempatkan dan memposisikan dirinya dalam
aktivitas dan produktivitas demi memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
Buddha menguraikan didalam syair Dpd.
Danda Vagga; X-131, “Sukhakamani bhutani yo dandena vihimsati attano
sukhamesano pecca so na labhate sukham; barang siapa yang mencari
kebahagian dari dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga
mendambakan kebahagian, maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan”. Sikap
untuk mensyukuri dan menghargai, serta mempergunakan maupun menjaga kelestarian
lingkungan beserta sumber daya alam yang ada sangatlah minim sekali dilakukan,
sehingga tidak heran apabila setiap kita melangkahkan kaki dari daerah satu
kedaerah yang lainnya, dari pulau ke satu ke pulau yang lainnya, maka banyak menjumpai
pemandangan-pemandangan yang tidak bersahabat terhadap lingkungan;“beberapa contoh yang sudah marak terjadi
yaitu seperti pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya sehingga sampah
menumpuk dimana-mana, pembalakan liar
(illegal logging) yang tanpa diimbangi dengan penanaman kembali (reboisasi),
pembukaan lahan yang dijadikan sebagai tempat pengembangan industry yang tanpa
memikirkan dampak buruknya terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada
didalamnya, dan masih banyak yang lainnya”.
Kondisi ini memang
sungguh memprihatinkan, padahal kondisi ini adalah masalah yang harus
diperhatikan bersama. Seseorang lebih cenderung prihatin dan kecewa terhadap dampak
buruk yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, ketimbang
memikirkan bagaimana solusinya. Seyogianya kita tidak hanya tinggal diam
melihat kondisi tersebut atau menunggu orang lain yang harus melakukan atau
mungkin berpikir “masalah ini bukan masalah saya dan biarlah orang lain yang
memikirkannya”, jika memang demikian maka selamanya perubahan menuju
yang lebih baik tidak akan pernah dapat terjadi. Seperti yang telah Buddha
sabdakan “Attanameva pathamam patirupe nivesaye-hendaknya seseorang memulai dan
mengembangkan hal-hal yang baik dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu (Dpd.158)” dan “Kayirace kayirathenam dalhamenam
parakkhame-hendaknya seseorang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati (Dpd. 313). Dari uraian Buddha diatas
dapat kita renungkan bersama bahwa, sekecil apapun usaha yang kita lakukan,
jika dengan kesungguhan hati maka pada akhirnya kita akan memperoleh hasilnya. Maka
dari itu jangan berpikir sempit bahwa sesuatu yang baik tidak akan membuat
perubahan jika itu bermanfaat bagi banyak orang, orang lain pasti akan ikut dan mendukung, terlebih
jika hal tersebut berpengaruh terhadap lingkungan hidup. Masalah sebesar apapun
dan kondisi sesulit apapun apabila dihadapi dan diatasi dengan tenang, maka
semuanya akan menjadi baik. Mari kita bekerja sama dan saling mendukung, mencari
solusi yang terbaik untuk perubahan hidup yang lebih baik.
Dalam sudut pandang
ajaran Buddha (Buddhasasana) menjaga
lingkungan dan kelestarian alam beserta sumberdaya yang ada didalamnya
merupakan salah satu bentuk wujud dari “Metta” (Cinta kasih). Didalam “Karaniyametta
Sutta” Buddha menjelaskan pengembangan cinta kasih tidak hanya
dilakukan kepada orang-orang terdekat kita, melainkan cinta kasih itu hendaknya
dikembangkan secara universal dan tidak membatasinya. Alam adalah unsur dari sumber
kehidupan bagi kita maupun makhluk-makhluk lainnya dan secara tidak langsung ketika
kita mencintai lingkungan dan alam yang kita tempati, membuktikan bahwa kita
telah mencintai semua makhluk yang berada didalamnya. Pada prosesnya lingkungan
dan sumberdaya alam yang ada mempunyai hubungan timbal balik yang menguntungkan,
menurut hukum sebab-musabab hal itu dibenarkan karena pada intinya mempunyai
hubungan proses ketertikatan. Oleh sebab
itu, ketika kita tidak mampu mencintai dan menjaga kelestarian lingkungan serta
tidak seimbang mempergunakan semua sumber daya alam yang dihasilkan, maka kita
tidak dapat menjaga kelangsungan hidup dengan baik. Untuk menegaskan betapa pentingnya lingkungan dan sumber daya
alam bagi kehidupan, Buddha memberikan perumpamaan yang sangat luar biasa
yaitu, “Yathapi bhamaro puppham vannagandham ahethayam paleti rasamadaya-Bagaikan
seekor lebah yang tidak pernah merusak kuntum bunga, baik warnanya maupun
baunya (Dhp.49)”. Didalam ekosistem tersebut lebah tidak
hanya mengambil keuntungan dari bunga, akan tetapi juga sekaligus membayarnya dengan
penyerbukan. Perilaku yang dilakukan lebah tentu memberikan inspirasi tentang
bagaimana seharusnya seseorang menggunakan sumber daya alam yang terbatas
(Wijaya-Mukti, 2004). Sebagai
tambahan jika alam mempunyai fungsi besar bagi kehidupan manusia maka dapat
dilihat dari “Agganna Sutta” yang menunjukan hubungan timbal balik perilaku
manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (Sali) yang pertama kali dikenal berupa
butiran yang bersih tanpa sekam. Padi tersebut dipetik ketika sore hari, kemudian
berbuah kembali keesokan harinya. Di petik pagi-pagi, berbutir padi itu kembali
tumbuh di sore hari. Semula manusia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali
makan, akan tetapi timbulah didalam pikiran manusia; “bukankah lebih baik jika mengumpulkan padi yang cukup untuk persediaan
makan siang dan makan malam sekaligus, lalu pikiran berikutnya muncul kembali, bukankah
lebih baik lagi jikalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari
dan seterusnya”. Sejak saat itulah manusia mulai menimbun padi, sehingga
padi yang telah dipanen tidak tumbuh lagi. Sehingga akibat dari keserakahan itu,
manusia akhirnya harus menanam dan menunggu dengan waktu yang cukup lama.
Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun dan butiran-butiran padi mulai berkulit
sekam (D.II.88-90).
Dari uraian tersebut
dapat dilukiskan bahwa keterikatan sumber daya alam dan tindakan manusia
mempunyai peranan penting terhadap hasil akhir dan proses kelangsungan
hidupnya. Ajaran Buddha tidak semata-mata menitik beratkan kepada cara-cara
bagaimana menuju kepada perealisasi sejati, melainkan beliau juga mengajarkan
bagaimana sikap yang harus dilakukan dalam menempatkan diri yang baik terhadap
sesuatu yang ada diluar diri kita. Alam adalah bagian dari sarana dan media
yang dapat membantu mencapai keseimbangan hidup. Jika kita membaca riawayat
hidup Buddha Gotama maka kita dapat menemukan bagaimana bentuk sikap yang dilakukan
beliau terhadap pohon Bodhi, dengan rasa penuh hormat memandangi pohon Bodhi
tersebut selama tujuh hari tanpa bergerak yang dikenal sebagai“amisa
sattaha”, hal itu dilakukan sebagai ungkapan rasa terima kasih (Anumodana)
atas jasanya yang telah memberikan naungan selama petapaannya. Peristiwa ini
terjadi dua minggu setelah pencapaian kesempurnaan agung (Sammasambuddha). Didalam “Vinaya Pitaka” menuturkan tentang
aturan-aturan para Bhikkhu, juga telah ditetapkan bahwa seorang Bhikkhu yang
menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah (Pacittiya). Ajaran Buddha selalu memberikan inspirasi baik mengenai
bagaimana sikap menghormati dan tanpa melakukan kekerasan, tidak hanya berlaku
terhadap semua makhluk hidup, saat masa musim penghujan (Vassa) para bhikkhu “tidak diperkenankan melakukan perjalanan guna
menghindari kemungkinan terjadinya perusakan terhadap tunas-tunas tanaman atau
mengganggu kehidupan binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vin.I.137).
Berdasarkan uraian
diatas, kita dapat simpulkan bahwa lingkungan, alam dan sumber daya yang
dihasilkan adalah bagian dari suatu tatanan yang utuh dan menyeluruh antara
semua unsur lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Dengan demikian upaya
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggungjawab yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Jaga, rawat dan lestarikanlah alam kita,
agar anak cucu kita kelak dapat menghirup udara segar untuk selama-lamanya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Semoga semua makhluk turut berbahagia, Sadhu…
Sadhu… Sadhu… Sadhu…
Diakses Melalui: Buletin Taman Alam Lumbini 2014
0 komentar:
Posting Komentar