Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa,
"Akkocchi mam avadhi mam Ajini mam ahasi me ye ca tam upanayanti
veram tesam na sammati; Ia menghina saya, ia memukul saya, ia
mengalahkan saya, ia merampas milik saya, Jika seseorang sudah tidak
lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian akan
berakhir ” Dpd. Yamaka Vagga I : 4”
Salah satu penyebab penderitaan didunia ini adalah ketidakmauan kita
untuk memaafkan orang lain. Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit
berbahaya yang menggerogoti kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan
amarah. Kita marah karena dunia berjalan tak sesuai dengan kemauan kita.
Kita sering menuntut orang lain. Kita sering menuntut supaya
jalan-jalan diberi karpet untuk keselamatan kita tetapi orang bijak ia
akan selalu pakai sepatu tebal agar ia selamat dari paku, kerikil,
bahkan panasnya aspal tersebut. Kadang-kadang kita marah karena
pasangan, anak, orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak
melakukan apa yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam
kemarahan ini berhari-hari, bahkan bertahun-tahun dan lebih parah lagi
disimpan sampai tujuh keturunan. Didalam Abhidhamma dituturkan bahwa
satu jentikan menciptakan milyaran kesadaran bahkan trilliunan
kesadaran. Begitu pula dengan pikiran kita; sekali berpikir akan
berentetan milyaran kesadaran bahkan trilliunan kesadaran; tergantung
pikiran baik atau pikiran buruk. Memang banyak sekali kejadian yang
memancing emosi kita. Pengendara motor yang memaki kita, mobil yang
menyalib dan hampir membuat kita celaka, rekan-rekan yang tak mau
mendengar kita, politisi yang hanya memperjuangkan diri sendiri, adik
yang sering minta bantuan tapi tak pernah mengucapkan terima kasih,
pembantu yang membohongi kita, maupun bos yang pelitnya luar biasa. Kita
mungkin berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya
kita benci. Tapi kita lupa bahwa kebencian yang kita simpan hanyalah
merugikan kita sendiri. Dalam dhammapada dikatakan bahwa kebencian tidak
akan berakhir jika dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan
berakhir jika dibalas dengan cinta kasih. Mempraktekkan cinta kasih
adalah bentuk refleksi dari internal religion kita. Semakin orang
mengerti tentang nilai-nilai Agama semakin pula dirinya jauh dari
hal-hal yang merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sudah menjadi watak manusia, tatkala hatinya disakiti, dia akan
merasa sakit hati dan boleh jadi berujung dengan dendam. Walaupun
demikian, bukan berarti kita harus dendam setiap kali ada yang
menyakiti. Malah sebaliknya, jika kita dicela, maka doakanlah
orang-orang yang mencela itu agar mereka sadar dan menjadi orang lebih
baik dengan mengucapkan SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA (semoga semua
makhluk berbahagia). Mampukah kita melakukannya? Orang-orang bijaksana
adalah sosok yang hatinya bersih dari sifat dendam. Walau ia dihina,
dicaci-maki, difitnah, bahkan hendak dibunuh, tak sedikit pun ia
mendendam. Bahkan, ia mati-matian berbuat baik kepada orang-orang
tersebut dan begitu ringannya ia memaafkan. Penelitian menunjukkan
ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki dampak hebat terhadap tubuh
kita: menciptakan ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan sistem
kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak dan setiap organ dalam
tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit
seperti pusing, sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang
energi, cemas, tak bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia sehingga diri
kita semakin jauh dari Dhamma itu sendiri.
Baru-baru ini saya sempat berinteraksi dengan sekelompok mada-mudi
yang mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Ternyata, kebanyakan
dari mereka memendam berbagai kemarahan, baik kepada orang tua maupun
orang-orang di sekitar mereka termasuk pacar mereka dan itulah yang
menciptakan sebuah sebuah sindrom masa kini yaitu Galau Syndrome. Musuh
kita sebenarnya bukanlah orang yang membenci kita tetapi pola pikir
jelek kita lah sebagai musuh kita, yang harus diubah. Ada cerita
mengenai seorang teman bekas teman sekolah SMA dulu. Sambil mengobrol
saya bertanya, ”Apakah kamu sudah melupakan pacar kamu waktu SMA dulu?”
Jawabnya, ”Belum bisa.” Saya kemudian berkata, ”Kenapa belum? Kan sudah
bertahun-tahun.”dia tertawa kecil dan berkata, ”Karena aku sangat
membencinya bahkan kalau ingat sepertinya saya sangat muak kepadanya”.
Saya lalu bilang, “Kalau begitu, kamu masih memenjara diri kamu.” Lalu
dia termenung dan menganggukkan kepalanya. Kita harus terus berlatih
untuk mengikis sifat dendam tersebut. Jika seseorang masih berpikir,” Ia
menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik
saya; maka kebencian tidak akan berakhir. Sebaliknya jika seseorang
tanpa berpikir; Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya,
ia merampas milik saya; maka ia akan bahagia, kebencianpun akan
berakhir. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari para karateka yang
berhasil menghancurkan batubata dengan tangannya. Pertama kali
memukulnya, bata tersebut tidak langsung hancur. Tapi, dia tak patah
semangat. Diulanginya terus usaha untuk menghancurkan bata tersebut.
Akhirnya, pada pukulan kesekian, pada hari kesekian, bata tersebut
berhasil dihancurkan. Memang, tangannya bengkak-bengkak, tetapi dia
mendapatkan hasil yang diinginkan. Begitu pula dengan hati. Jika hati
dibiarkan sensitif, maka hati ini akan mudah sekali terluka. Akan
tetapi, jika hati sering dilatih, maka hati kita akan semakin siap
menghadapi pukulan dari berbagai arah. Jika kita telah disakiti
seseorang, kita jangan melihat orang tersebut, tetapi lihatlah dia
sebagai sarana ujian dan ladang amal kebajikan. Kita akan semakin sakit,
tatkala melihat dan mengingat orangnya.
Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita.
Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di luar. Karena
itu jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya,
belajarlah memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami ketidaktahuan
orang lain. Banyak orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan.
Kalaupun mereka sengaja melakukannya, itupun karena mereka sebenarnya
tak tahu. Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah untuk orang lain
tetapi untuk mereka sendiri. Orang yang suka memaki dan bersikap kasar,
meluapkan emosi, kemarahan, sebenarnya ia tak menyadari bahwa mereka
sedang menciptakan penderitaan bagi dirinya sendiri. Suatu ketika ia
akan kena batunya, Inilah konsekuensi logis dari hukum sebab-akibat. Ada
sebab pasti ada akibat.
Diakses : Mimbar Agama Buddha Harian Analisa Medan
http://analisadaily.net/news/read/memaafkan-moment-yang-indah/9390/2014/02/27
0 komentar:
Posting Komentar